Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Kasus Mama Khas Banjar dan Urgensi Kebijakan UMKM Satu Arah: Siapa yang Merawat Si Kecil?

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Kasus Mama Khas Banjar dan Urgensi Kebijakan UMKM Satu Arah: Siapa yang Merawat Si Kecil?
Foto: (Sumber: Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) RI Maman Abdurrahman (kiri) memberikan keterangan usai re-opening Toko Mama Khas Banjar di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Rabu (18/6/2025). (ANTARA/Tumpal Andani Aritonang))

Pantau - Kasus kriminalisasi pemilik UMKM, Firly Norachim, menyoroti lemahnya perlindungan hukum bagi pelaku usaha mikro di Indonesia, serta pentingnya koordinasi satu arah dalam pemberdayaan UMKM.

Ketidaktahuan Hukum yang Berujung Kursi Terdakwa

Firly Norachim, pemilik toko oleh-oleh Mama Khas Banjar, tak pernah membayangkan dirinya akan duduk di kursi terdakwa pengadilan.

Ia menjadi tersangka karena menjual frozen food tanpa label tanggal kedaluwarsa, tanpa mengetahui bahwa pencantuman label tersebut adalah kewajiban hukum.

Ketidaktahuan itu dijadikan dasar oleh aparat penegak hukum untuk menjerat Firly.

Menteri UMKM, Maman Abdurrahman, mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dan meminta agar Firly dibebaskan dari segala tuntutan.

Setelah intervensi tersebut, pada 19 Mei 2025, Firly resmi dibebaskan dari jerat hukum.

Kasus bermula dari laporan masyarakat yang menemukan produk makanan tanpa label kedaluwarsa di toko milik Firly.

Kepolisian Kalimantan Selatan menjeratnya dengan Pasal 8 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang ancamannya mencapai 5 tahun penjara atau denda hingga Rp2 miliar.

Padahal, kewajiban label juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang hanya memberikan sanksi administratif.

Terjadi disharmoni hukum — substansi aturan sama, tetapi sanksinya berbeda.

Dalam praktik hukum, tumpang tindih aturan seharusnya bisa diselesaikan dengan asas:

  • Lex superior derogat legi inferiori
  • Lex specialis derogat legi generali
  • Lex posterior derogat legi priori

Namun dalam kasus ini, ketiga asas tersebut tidak diterapkan oleh aparat hukum.

Akibatnya, hukum justru memidanakan pelaku usaha kecil dan gagal memberikan perlindungan terhadap UMKM.

Banyak Regulasi, Tapi Koordinasi Lemah

Ironisnya, Indonesia sebenarnya memiliki sejumlah regulasi lengkap yang mendukung UMKM, antara lain:

UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM

PP No. 7 Tahun 2021 tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan UMKM

Namun, regulasi yang lengkap belum menjamin adanya perlindungan dan pemberdayaan yang optimal di lapangan.

Tahun 2024, Teten Masduki, Menteri KUKM periode 2019–2024, menyampaikan bahwa lemahnya koordinasi lintas sektor menjadi akar persoalan utama.

Terdapat sekitar 22 kementerian dan 44 lembaga yang mengurusi UMKM, masing-masing dengan programnya sendiri.

Karena tidak adanya satu koordinasi yang kuat, banyak program tumpang tindih, dan pelaku UMKM menjadi korban regulasi yang tidak harmonis.

Firly Norachim adalah contoh nyata — ia tidak tahu soal kewajiban label kadaluwarsa.

Lalu, siapa yang seharusnya mengedukasi pengusaha mikro seperti dia?

Tidak jelas instansi mana yang seharusnya bertanggung jawab: pemerintah daerah, kementerian teknis, atau Kementerian UMKM?

Pada 2021, TNP2K dan Lembaga Demografi UI memetakan 64 program pemberdayaan UMKM yang dijalankan oleh 22 kementerian/lembaga berbeda.

Program-program tersebut berjalan sendiri-sendiri, tanpa koordinasi, dan tidak menghasilkan dampak yang seragam.

Akibatnya, tidak terjadi pergeseran proporsi UMKM selama 2010–2019, yang menunjukkan tidak adanya perkembangan signifikan dalam pemberdayaan.

Saatnya UMKM Punya Satu Arah Nasional

Oleh karena itu, satu arah pemberdayaan UMKM menjadi sebuah keharusan nasional.

Kementerian UMKM harus menjadi leading sector, sebagai konduktor dari “orkestra” pemberdayaan UMKM lintas instansi.

Hal ini sesuai amanat:

Pasal 38 UU No. 20 Tahun 2008

Pasal 94 dan 95 PP No. 7 Tahun 2021

Dalam Pasal 95 ayat (1) huruf a, Menteri UMKM berwenang menyusun dan menetapkan kebijakan umum nasional pemberdayaan UMKM jangka pendek, menengah, dan panjang.

Contoh terbaik datang dari China, yang menyusun arah pembangunan nasional lewat strategi “A Leading High-End Manufacturing Superpower”.

Dalam Pasal 95 ayat (1) huruf b, Menteri UMKM juga bertugas menyinergikan perencanaan nasional sebagai dasar penyusunan strategi di instansi teknis lainnya.

Dari kebijakan umum nasional itulah akan lahir koridor perencanaan program lintas K/L.

Semua program pemberdayaan akan dirancang berdasarkan koridor yang sama dan mengarah pada tujuan bersama.

Dengan koordinasi yang terarah, tidak akan ada lagi program tumpang tindih, dan setiap instansi akan memiliki peran yang jelas.

Pada akhirnya, kebijakan umum nasional untuk satu arah pemberdayaan UMKM akan menjawab pertanyaan:

“Siapa yang merawat si kecil?”

Dengan kerangka kebijakan ini, peran masing-masing instansi akan jelas, dan perlindungan serta pemberdayaan UMKM bisa berjalan efektif dan menyeluruh.

Penulis :
Ahmad Yusuf