Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

DPR Soroti Dugaan Pelanggaran HAM di Taman Nasional Tesso Nilo, Masyarakat Riau Tuntut Keadilan

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

DPR Soroti Dugaan Pelanggaran HAM di Taman Nasional Tesso Nilo, Masyarakat Riau Tuntut Keadilan
Foto: DPR Soroti Dugaan Pelanggaran HAM di Taman Nasional Tesso Nilo, Masyarakat Riau Tuntut Keadilan

Pantau - Komisi XIII DPR RI menggelar rapat dengar pendapat umum dengan forum masyarakat, mahasiswa, dan perwakilan desa dari Riau guna membahas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penataan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Kabupaten Pelalawan.

Pertemuan ini menyoroti dampak kebijakan kehutanan terhadap masyarakat lokal yang merasa dirugikan secara hukum, ekonomi, dan sosial akibat penetapan kawasan TNTN tanpa kejelasan batas dan status lahan.

Komisi XIII menegaskan bahwa negara harus hadir dan menjamin keadilan bagi masyarakat terdampak sebagai amanat konstitusi.

Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI, Andreas Hugo Pareira, mengatakan bahwa rapat ini merupakan respons atas pengaduan masyarakat yang telah lama disampaikan.

"Persoalan yang dihadapi masyarakat menyangkut penyitaan lahan, pemutusan akses jalan dan listrik, larangan transaksi hasil sawit, hingga larangan penerimaan murid baru di sekolah kawasan TNTN. Semua itu terkait hak atas tanah, hak hidup di lingkungan sehat, serta hak penghidupan yang layak, yang merupakan bagian integral HAM yang dijamin konstitusi", ungkapnya.

Akar Masalah Dinilai Berasal dari Kebijakan Pemerintah Sejak 1986

Juru bicara Forum Masyarakat Korban Tata Kelola Hutan-Pertanahan di Riau, Abdul Azis, menyebut bahwa persoalan berawal dari SK 173/1986 tentang penunjukan kawasan hutan di Riau.

Ia menilai terdapat kelalaian pemerintah dalam proses penataan batas kawasan sehingga ribuan desa diklaim masuk dalam kawasan hutan tanpa kejelasan hukum.

"Sejak 1986 hingga kini kawasan hutan hanya ditunjuk tetapi tidak pernah dikukuhkan sesuai Pasal 14 Undang-Undang Kehutanan. Akibatnya masyarakat dituding sebagai perambah atau penduduk ilegal di tanah yang sudah dihuni jauh sebelum TNTN ditetapkan", ujarnya.

Penetapan kawasan TNTN pada tahun 2004 dan 2009 seluas lebih dari 80 ribu hektare dilakukan tanpa melalui proses penetapan batas terlebih dahulu.

Ia juga mengungkapkan bahwa kawasan tersebut sebelumnya sudah dikelola oleh perusahaan sejak tahun 1970-an.

"Kalau ditelusuri, justru ada 153 ribu hektare hutan yang diberikan izin tebang ke 13 perusahaan dengan nilai kayu mencapai lebih dari Rp7 triliun. Namun, masyarakat kecil yang justru ditekan", katanya.

Masyarakat dan Mahasiswa Desak Perlindungan dan Revisi Kebijakan

Perwakilan Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Pelalawan, Wandri Simbolon, mengungkapkan bahwa kebijakan penetapan TNTN berdampak langsung terhadap tujuh desa dengan total sekitar 50 ribu jiwa.

Ia menyatakan bahwa keberadaan satuan tugas penertiban kawasan hutan telah menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, termasuk anak-anak.

"Kami menolak relokasi karena akan menghilangkan rumah, sekolah, dan rumah ibadah yang sudah ada puluhan tahun. Bahkan pernah ada kasus anak SD dicekik aparat satgas dengan alasan bercanda. Itu cara yang tidak manusiawi", ungkapnya.

Selain itu, pembatasan aktivitas warga melalui pemasangan portal, larangan menanam, hingga pemutusan akses ekonomi dinilai semakin memperparah situasi.

Akibat dari kebijakan ini, kerugian yang dialami masyarakat diperkirakan mencapai Rp708 miliar, termasuk akibat gagal bayar pinjaman KUR, leasing, dan pajak.

Ketua Forum Desa Korban Tata Kelola Hutan di Indragiri Hulu, Irwantoni, mengungkapkan bahwa desanya yang sudah eksis sejak sebelum kemerdekaan, kini ditetapkan sebagai Hutan Produksi Konversi (HPK) melalui SK 903/2016.

"Padahal lahan itu satu-satunya sumber penghidupan warga. Jika tidak ada perubahan kebijakan, masyarakat kami akan bernasib sama seperti desa-desa di Tesso Nilo", ungkapnya.

Akibat penetapan tersebut, sertifikat tanah milik warga menjadi tidak berlaku dan lahan mereka dipatok ulang oleh satgas.

Komisi XIII DPR menyatakan bahwa Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) perlu segera menyelidiki dan memberikan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi.

Rapat ini juga dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, mahasiswa, serta lembaga negara yang fokus pada isu HAM, dan akan dilanjutkan dalam agenda DPR berikutnya untuk pengambilan keputusan lebih lanjut.

Penulis :
Ahmad Yusuf