Tampilan mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Komnas HAM Minta MK Tegaskan Norma Proyek Strategis Nasional Harus Tunduk pada Konstitusi

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Komnas HAM Minta MK Tegaskan Norma Proyek Strategis Nasional Harus Tunduk pada Konstitusi
Foto: Tangkapan layar - Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Saurlin P. Siagian menyampaikan keterangan Komnas HAM dalam persidangan terakhir pengujian materi sejumlah pasal Undang-Undang Cipta Kerja di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa 7/10/2025 (sumber: ANTARA/Fath Putra Mulya)

Pantau - Komnas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merekomendasikan agar Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan setiap norma terkait proyek strategis nasional (PSN) dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja harus tunduk pada Undang-Undang Dasar 1945.

Komnas HAM Dukung Uji Materi UU Cipta Kerja

Rekomendasi tersebut disampaikan oleh Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, dalam sidang terakhir pengujian materi sejumlah pasal UU Cipta Kerja di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

"MK perlu menegaskan kembali bahwa setiap norma dalam Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya yang menyangkut PSN, harus tunduk pada prinsip negara hukum sebagaimana termuat dalam Pasal 1 ayat (3) konstitusi serta penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM sebagaimana dijamin dalam Pasal 28A sampai dengan 28J konstitusi 1945," ungkap Saurlin.

Komnas HAM menyatakan sepakat dengan permohonan uji materi yang diajukan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), dan 19 pemohon lainnya dalam Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025.

Menurut Komnas HAM, ketentuan tentang PSN dalam UU Cipta Kerja mengandung kekaburan norma, terutama dalam Pasal 3 huruf d yang mengatur penyesuaian aspek pengaturan untuk kemudahan dan percepatan PSN.

Norma tersebut dinilai kabur karena tidak menjelaskan ruang lingkup, kriteria objektif, maupun mekanisme penetapan PSN.

Ketidakjelasan ini berpotensi menimbulkan multitafsir dan memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada pemerintah maupun badan usaha.

"Sehingga hak konstitusional warga negara atas kepastian hukum dalam Pasal 28D ayat (1) konstitusi berisiko terlanggar," ujarnya.

Dampak Sosial dan Lingkungan dari Ketidakjelasan PSN

Komnas HAM menilai ketidakjelasan kriteria penetapan PSN juga membatasi akses masyarakat terhadap informasi publik dan menghambat partisipasi masyarakat secara bermakna.

Norma tersebut memperluas definisi kepentingan umum dan menyetarakan PSN dengan kepentingan umum tanpa batasan jelas, yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat kecil dan masyarakat adat.

Dalam tiga tahun terakhir, Komnas HAM menerima setidaknya 114 pengaduan terkait PSN, dengan pola masalah yang berulang seperti penggusuran paksa, kompensasi tidak layak, kriminalisasi warga, serta degradasi lingkungan hidup.

" Kami juga menemukan dalam kasus-kasus yang datang ke Komnas HAM, pengabaian prosedur konsultasi yang substantif terjadi, kemudian instrumen amdal hanya menjadi dokumentasi administratif, aparat diberi peran berlebihan untuk menekan perbedaan pendapat dan dampak sosial ekonomi yang meningkatkan kerentanan warga," kata Saurlin.

Komnas HAM berharap MK menafsirkan konstitusi secara progresif, tidak hanya secara tekstual dan kaku, tetapi juga menyesuaikan dengan perkembangan zaman serta berorientasi pada perlindungan HAM.

Terkait norma yang memperluas konsep kepentingan umum, Komnas HAM meminta MK untuk menilai ulang kesesuaiannya dengan konstitusi.

"Perlu ditegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan justifikasi bagi perampasan tanah dan ruang hidup masyarakat tanpa mekanisme perlindungan yang memadai," tegasnya.

Saurlin menambahkan bahwa MK perlu menegaskan pelaksanaan PSN tidak boleh mengabaikan prinsip pengawasan dan keseimbangan, termasuk kewajiban pengawasan oleh DPR.

"Terakhir, MK diharapkan mengeluarkan amar putusan yang tidak hanya bersifat korektif, tetapi juga preventif dengan menginstruksikan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki regulasi PSN agar sesuai dengan prinsip konstitusi, HAM, dan keberlanjutan lingkungan," tutupnya.

Permohonan Uji Materi dari YLBHI dan Walhi

Perkara Nomor 112/PUU-XXIII/2025 diajukan oleh YLBHI, Walhi, dan 19 pemohon lainnya yang terdiri dari badan hukum privat serta perorangan warga negara.

Para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal, antara lain Pasal 3 huruf d; Pasal 10 huruf u dalam Pasal 123 Angka 2; Pasal 173 ayat (2) dan (4); Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 31 Angka 1; Pasal 44 ayat (2) dalam Pasal 124 Angka 1; Pasal 19 ayat (2) dalam Pasal 36 Angka 3; Pasal 17A ayat (1), (2), dan (3) dalam Pasal 18 Angka 15; serta Pasal 34A ayat (1) dan (2) dalam Pasal 17 angka 18.

Para pemohon berpendapat bahwa ketentuan terkait kemudahan dan percepatan PSN menggerus prinsip dasar negara hukum dan menimbulkan konflik sosial-ekonomi yang berujung pada pelanggaran hak konstitusional masyarakat.

Oleh karena itu, mereka meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Penulis :
Shila Glorya