billboard mobile
Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Komisi III DPR Soroti Ketimpangan KUHAP, Dorong Penguatan Hak Pencari Keadilan dalam Revisi Undang-Undang

Oleh Shila Glorya
SHARE   :

Komisi III DPR Soroti Ketimpangan KUHAP, Dorong Penguatan Hak Pencari Keadilan dalam Revisi Undang-Undang
Foto: Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta (sumber: DPR RI)

Pantau - Komisi III DPR RI menegaskan urgensi penguatan hak-hak pencari keadilan dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang saat ini tengah dibahas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981.

Ketimpangan KUHAP Dinilai Rugikan Warga Negara

Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menyatakan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia masih menempatkan warga negara dalam posisi yang lemah ketika berhadapan dengan hukum.

Ia mencontohkan bahwa saksi dalam proses hukum belum mendapat hak pendampingan hukum saat pemeriksaan awal.

"Dia baru bisa didampingi penasihat hukum atau kuasa hukum, setelah berstatus tersangka. Itu istilahnya, bisa jadi sudah babak belur dulu, sudah bikin pengakuan macam-macam, baru bisa didampingi kuasa hukum," ungkapnya.

Menurutnya, hal ini menjadi masalah serius karena peran kuasa hukum pun sangat terbatas dalam situasi tersebut.

Ia menjelaskan bahwa kuasa hukum hanya diberi ruang untuk mencatat, mendengarkan, dan tidak bisa melakukan pembelaan aktif terhadap klien.

"Akibatnya, orang yang bermasalah dengan hukum, salah tidak salah, kemungkinan besar berakhir di penjara," ujarnya.

Dorongan Penguatan Peran Kuasa Hukum

Habiburokhman menekankan bahwa KUHAP merupakan instrumen penting dalam mengatur relasi antara negara dan warga negara yang berhadapan dengan hukum.

Ia menyatakan bahwa selama ini relasi tersebut tidak berjalan secara seimbang karena dominasi kekuasaan negara yang terlalu besar.

Oleh karena itu, revisi KUHAP diharapkan mampu memperkuat hak-hak tersangka dan saksi dalam proses hukum.

Ia juga menegaskan bahwa pengawasan terhadap aparat penegak hukum tidak harus dilakukan dengan menambah lembaga baru.

"Cara mengontrol negara bukan dengan menambah lembaga, tapi dengan memperkuat posisi warga negara dan kuasa hukum. Lewat mereka, kita bisa memastikan proses hukum berjalan transparan dan adil," ia mengungkapkan.

Revisi ini diharapkan menjadi langkah penting menuju sistem peradilan yang lebih adil, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip perlindungan terhadap hak asasi warga negara.

Penulis :
Shila Glorya