Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Puluhan Ribu Lagu Tak Diketahui Penciptanya, LMKN Terima Rp24 Miliar Royalti Tak Diklaim

Oleh Leon Weldrick
SHARE   :

Puluhan Ribu Lagu Tak Diketahui Penciptanya, LMKN Terima Rp24 Miliar Royalti Tak Diklaim
Foto: Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Ahmad Ali Fahmi dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta pada Kamis 13/11/2025 (sumber: ANTARA/Farhan Arda Nugraha)

Pantau - Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menerima dana royalti sebesar Rp24 miliar dari platform digital yang berasal dari puluhan ribu lagu tanpa pencipta yang tercatat atau terdaftar di Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).

Komisioner LMKN Ahmad Ali Fahmi mengungkapkan bahwa jumlah tersebut mencerminkan banyaknya pencipta lagu yang belum terlindungi hak ekonominya karena tidak terdaftar secara resmi.

"Ini terdiri dari puluhan ribu data judul lagu, artinya di situ ada puluhan ribu pencipta yang harus kita lindungi hak-haknya," ungkapnya.

Royalti Lagu Tak Terklaim dan Regulasi Pengelolaannya

Beberapa lagu yang masuk dalam daftar royalti tak terklaim merupakan karya lama, seperti "Cublek-Cublek Suweng", yang menurut Fahmi berasal dari era Sunan Kalijaga.

"Misalnya ada lagu Cublek-Cublek Suweng ini kan dari zaman Sunan Kalijaga, itu muncul royaltinya karena penggunaan," ujarnya.

Pengelolaan dana royalti yang tidak diklaim diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 27 Tahun 2025.

Dalam aturan tersebut, LMKN diwajibkan mengumumkan lagu-lagu tanpa pencipta yang jelas atau belum terdaftar di LMK, serta menyimpan dana tersebut maksimal selama dua tahun.

"Kalau memang nanti ada orangnya, dia bisa klaim, nanti kita arahkan ke LMK yang menaunginya," tambah Fahmi.

Dana yang tidak diklaim tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain, kecuali untuk kegiatan pemberdayaan dan optimalisasi musik dengan batas maksimal pemanfaatan delapan persen.

Tantangan Industri Musik Digital dan Usulan LMKN

Ahmad Ali Fahmi menyatakan bahwa perkembangan teknologi dan perubahan model bisnis di industri musik menjadi tantangan baru dalam perlindungan hak cipta.

Sebelumnya, distribusi hak ekonomi pencipta lagu dilakukan melalui kerja sama dengan label atau penerbit.

Namun kini, banyak pencipta lagu yang menerbitkan karyanya secara mandiri tanpa melalui label atau LMK, sehingga tidak tercatat dalam basis data yang diakui oleh platform musik digital.

"Ribuan orang ini tidak bisa mengklaim lagunya karena praktik bisnisnya di lapangan, DSP (platform musik digital) ini hanya mengakui entitas besar seperti label yang sejak puluhan tahun menguasai jutaan database lagu," jelasnya.

Ia memperkirakan potensi nilai royalti dari lagu-lagu yang tidak terdaftar dapat mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah setiap tahunnya.

Untuk mengatasi persoalan tersebut, LMKN mengusulkan agar mekanisme pengelolaan royalti yang tidak diklaim dimasukkan dalam revisi Undang-Undang Hak Cipta.

" Kami mau usulkan dari LMKN ini harus ada badan atau LMK tersendiri khusus untuk mengurusi hak ekonomi lainnya yang tidak dicakup oleh undang-undang (UU Hak Cipta)," ia mengungkapkan.

Penulis :
Leon Weldrick