
Pantau - Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, mendesak Sekretariat Negara (Setneg) agar tidak memperlambat proses permohonan kewarganegaraan bagi Anak Berkewarganegaraan Ganda (ABG), dan meminta agar prosedur tersebut mengikuti benchmarking naturalisasi atlet yang bisa selesai dalam waktu kurang dari satu hari.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi XIII DPR RI bersama Dirjen AHU Kementerian Hukum, Dirjen Imigrasi, Kementerian Sekretariat Negara, serta Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan HAKAN dan APAB pada Kamis, 27 November 2025, Willy menyampaikan bahwa negara seharusnya memberi prioritas kepada anak-anak yang berisiko tidak memiliki kewarganegaraan.
"Di ruangan ini, berulang kali ada Pak Dirjen AHU Kementerian Hukum, Mas Widodo, kita punya bench marking naturalisasi, itu tidak sampai satu kali 24 jam, kami pun terbirit-birit untuk mengesahkan mereka. Jadi saya minta frekuensi kita sama," ungkapnya.
Ia menekankan bahwa prinsip negara tidak boleh hanya mempermudah proses karena ada kepentingan nasional tertentu, sementara anak-anak yang stateless tidak mendapat perhatian yang sama.
"Prinsip kita, jangan kemudian ada satu kepentingan atas nama kepentingan nasional saja maka semua bisa dipermudah, bayangkan satu kali 24 jam. Kita semua terbirit-birit," katanya.
Willy juga menyarankan agar data anak-anak yang memerlukan kewarganegaraan segera dikonsolidasikan dan dijadikan skala prioritas.
"Jadi kita sama-sama konsolidir data-data ini. Kita buat skala prioritas, kita prioritaskan yang stateless lebih dulu. Ada benchmark-nya juga kok. Ada birocratic way, it's not about birocratic way but it's political way," jelasnya.
Sorotan terhadap Kepastian Hukum dan Perlindungan Hak Anak
Anggota Komisi XIII DPR RI, Umbu Rudi Kabunang, turut menyoroti pentingnya kepastian hukum dan kecepatan dalam proses pengajuan kewarganegaraan ABG, terutama bagi mereka yang telah lama tinggal dan besar di Indonesia.
"Seperti dikatakan pimpinan tadi bahwa naturalisasi kita bisa satu hari selesai, padahal orang asing yang kita tidak kenal," tegasnya.
Ia menyatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab lebih besar terhadap anak-anak tersebut karena mereka lahir dan besar di Indonesia.
"Saya rasa kalau kita bilang itu kepentingan bangsa, maka negara ini juga berkepentingan lebih karena anak-anak bangsa ini lahir dan besar di Indonesia," ujarnya.
Politisi Fraksi Golkar ini juga mengangkat kasus di Bali di mana permohonan kewarganegaraan seorang ABG belum selesai selama dua tahun tanpa kejelasan.
Hal tersebut dianggap menghambat pemenuhan hak-hak dasar anak seperti hak hidup, hak pendidikan, dan hak kepastian hukum.
Jika anak-anak tersebut berpindah kewarganegaraan ke luar negeri, maka pendidikan mereka di Indonesia berpotensi terhenti.
"Saya mohon masukkan juga, kalau ada celah hukumnya, tidak ada aturan yang mengatur tentang hal ini, terkait posisi hukum mereka, mari kita bahas bersama, bila perlu kita buat rancangan undang-undang supaya merevisi, ada kepastian hukum yang mengatur kebijakan tersebut," ungkapnya.
Ia juga menambahkan, "Kita butuh kepastian, kira-kira undang-undang yang mengatur ini sudah pas kah atau masih kurang? Dan di mana kurangnya. Supaya kita bisa sama-sama mencari landasan hukumnya."
Data dari Setneg: 151 Anak Sudah Dapat Keppres, 25 Belum Ada Pengajuan
Perwakilan dari Sekretariat Negara menyampaikan bahwa sejak 2023 hingga September 2025, pihaknya telah memproses 15 Keputusan Presiden (Keppres) untuk 151 anak berkewarganegaraan ganda.
Namun hingga saat ini, belum ada pengajuan permohonan kepada Presiden terkait 25 ABG sebagaimana yang dibahas dalam RDP 1 Oktober 2025 di DPR.
- Penulis :
- Shila Glorya








