Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Doni Monardo: Pengadaan Reagen Dilakukan Secara Terbuka dan Akuntabel

Oleh Adryan N
SHARE   :

Doni Monardo: Pengadaan Reagen Dilakukan Secara Terbuka dan Akuntabel

Pantau.com - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengklarifikasi perihal laporan majalah Tempo, edisi pekan ini, bersama Klub Jurnalis Investigasi dan Indonesia Corruption Watch (ICW) ihwal investigasi pengadaan alat tes Covid-19.

Dalam laporan itu disebut-sebut puluhan rumah sakit mengembalikan ratusan ribu alat tes dari BNPB.

Menanggapi hal itu, Doni memastikan pengadaan barang dan jasa di lembaganya dilakukan secara terbuka dan akuntabel. Untuk menjaga transparansi, BNPB turut membentuk tim dengan memasukkan unsur Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Tak hanya itu, Doni pun menerapkan metode transparansi berupa paraf persetujuan ke semua deputi untuk setiap kebijakan pengadaan barang dan jasa.

“Tujuan saya memproteksi diri dan lembaga. Sebab, mana mungkin saya bisa mengawasi semua?” ujar Doni seperti dikutip dari Tempo.co, Senin (15/3/2021). 

Baca juga: Doni Monardo Minta Pemda Sosialisasikan PPKM Mikro hingga Tingkat RT/RW

Dalam laporan itu juga disebutkan, BPKP menemukan selisih hingga ratusan ribu reagen yang terdistribusi dan tercatat senilai Rp 40 miliar hingga Agustus 2020. Sementara ICW menemukan dugaan potensi kerugian negara sekitar Rp 170 miliar.

Sementara itu menurut Tenaga ahli Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, H.M. Nasser, pada awal mula pandemi di Indonesia, pemerintah masih kelimpungan mencari alat testing virus. Bahkan, kala itu hanya ada 10 ribu alat tes reagen yang didapat pemerintah. 

Pada 13 April 2020, lantaran stok sudah menipis, Nasser pun menemui Kepala BNPB Doni Monardo, guna menyusun rencana pengadaan alat tes Covid-19 secara massal. 

Dalam pertemuannya dengan Doni, Nasser menyarankan agar membeli reagen karena Kementerian Kesehatan sama sekali belum membelinya. Lalu yang kedua, memperbanyak jumlah laboratorium pengetesan.

Dia mengatakan, saat pemerintah membutuhkan alat tes, seorang pengusaha sempat menawarkan harga Rp728 ribu untuk setiap produknya.

Nasser menilai harga alat tersebut sangat mahal. Nasser mencari yang lain. Lalu, akhirnya datang sumbangan reagen Sansure dari perusahaan Unilever sebanyak 25 ribu dan dari PT Mastindo Mulia sebanyak 50 ribu alat tes. Nasser mendapat informasi bahwa Sansure didatangkan dari Cina. Ia juga melihat daftar berbagai jenis alat tes yang diproduksi Cina.

Setelah melakukan berbagai diskusi dengan rekan sejawatnya dan mendapat informasi yang sahih, akhirnya Nasser yakin dengan Reagen Sansure yang disebut memiliki tingkat stabilitas dan sensitivitas yang baik. 

"Reagen Real Time PCR termasuk reagen Sansure. Reagen Sansure dipilih karena selain sangat stabil, juga multiplex yang terdiri atas dua gen confirmed. Yang dikerjakan bisa lebih cepat daripada reagen yang lain. Serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik. Pada bulan April-Mei 2020 telah dilakukan distribusi pada 88 laboratorium di 31 provinsi," kata Nasser.

Baca juga: Satgas COVID-19 Ajak Masyarakat Patuh Protokol Kesehatan

Nasser pun meminta saran sejawatnya ihwal perusahaan yang bisa mendatangkan reagen. Seorang rekannya mengirimkan daftar nama lima perusahaan. Nasser lalu mengontak kelima perusahaan itu, tapi hasilnya nihil.

Belakangan, dari rekannya, Nasser mendapatkan nama Budiyanto A. Gani, pemilik PT Trimitra Wisesa Abadi. Budiyanto awalnya ogah menerima tawaran tersebut karena harga yang ditawarkan pemerintah dianggap tak menguntungkan. Tapi Nasser meyakinkan bahwa BPKP yang memberikan harga. Setelah alat tes didatangkan, pada Mei 2020, BNPB mendistribusikan reagen tersebut pada 88 laboratorium di 31 provinsi.

"Ternyata dari sekian laboratorium yang tidak dapat mengerjakan karena persoalan metode pengerjaan, di mana metode ekstraksi RNA kering dan basah tidak dapat dikombinasikan dengan baik. Pada tanggal 13 Agustus 2020 diputuskan dalam sebuah rapat koordinasi bersama dengan BPKP bahwa seluruh Reagen yang tidak dapat digunakan itu ditarik dan dilakukan re-distribusi," ujarnya.

"Redistribusi itu sampai akhir tahun 2020 menyisakan 12 laboratorium dan sampai awal tahun 2021 sudah selesai redistribusi. Sehingga permintaan dari Rumah Sakit Unhas sebanyak 25 ribu, dan Rumah Sakit Umum Daerah Pangkalan Bun sejumlah 3 ribu tidak dapat dipenuhi karena stok sudah tidak tersedia," sambungnya.

Sementara itu, Tim Satgas Penanganan Covid-19 (2020), Suryopratomo menyebut, pada awal kemunculan Covid-19, lembaga internasional baik itu Badan Kesehatan Dunia maupun Unicef tidak mempunyai pegangan yang baku mengenai tata cara penanganan Covid, semua melaluinya dengan trial and error. 

"Situasinya yang sangat menegangkan dan memang ketika itu di tengah ketidaktahuan, di tengah keterbatasan sistem kesehatan kita tanpa ada obat dan juga cara untuk menanganinya. Jadi dalam situasi yang seperti itu, kita betul-betul dihadapkan pada kondisi yang sangat menakutkan, apalagi di minggu-minggu pertama. Saya masih ingat 9 dokter harus wafat," ujarnya.

Ia menyebut, satu-satunya cara adalah melakukan tes PCR. 

"Yang menjadi pertanyaan pada saat itu dari mana reagen yang bisa dipakai untuk melakukan tes PCR? Hanya ada dua negara yang ketika itu bisa menghasilkan tes PCR, China dan Korea. Sekali lagi di tengah situasi yang sangat menegangkan keputusan besar harus diambil," katanya lagi.

Baca juga: Doni Monardo: Liburan Kali Ini Harus Aman, Tanpa Jalan-jalan Bepergian

"Maka Gugus Tugas memutuskan untuk segera mengadakan tes PCR. Apalagi ketika itu diminta oleh WHO bahwa 4 persen dari jumlah penduduk itu harus dilakukan tes. Sekarang ramai dibicarakan seakan-akan tim Gugus Tugas melakukan pengadaan tes PCR secara sembrono, tidak melakukan kajian," ujanya.

"Di awal tadi saya katakan, lembaga internasional seperti WHO maupun Unicef pada awal-awal Covid-19 juga tidak pernah mengetahui bagaimana langkah terbaik dalam penanganan Covid-19. Dan apa yang dilakukan sekali lagi oleh Tim Gugus Tugas berorientasi kepada bagaimana secepat mungkin kita bisa mengendalikan penularan, secepat mungkin bisa mengetahui warga masyarakat yang tertular, sehingga kemudian bisa dilakukan isolasi atau karantina sehingga tidak menulari orang lain," pungkas Suryo.

rn
Penulis :
Adryan N