Pantau Flash
HOME  ⁄  News

IJTI Soroti Sejumlah Pasal Kontroversial dalam Revisi UU Penyiaran

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

IJTI Soroti Sejumlah Pasal Kontroversial dalam Revisi UU Penyiaran
Foto: Gedung DPR RI.

Pantau - Pemerintah bersama DPR RI tengah merancang revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Namun, langkah tersebut mendapat sorotan tajam dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) baik dari segi proses penyusunan maupun substansi.

IJTI mengungkapkan keprihatinan terhadap draf revisi UU Penyiaran, menyatakan bahwa proses penyusunannya terkesan kurang cermat dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers. 

Mereka menyoroti kurangnya keterlibatan berbagai pihak, termasuk organisasi profesi jurnalis atau komunitas pers, dalam penyusunan draf tersebut.

Salah satu pasal dalam draf revisi yang menjadi perhatian khusus bagi IJTI adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf c, yang melarang penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. 

Ketua Umum Pengurus Pusat IJTI, Herik Kurniawan menilai, pasal tersebut dapat menimbulkan banyak tafsir dan membingungkan.

"Selama karya tersebut mematuhi kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dan dibuat secara profesional demi kepentingan publik, seharusnya tidak ada larangan bagi penayangan karya jurnalistik investigasi di televisi," tegas Herik.

Selain itu, IJTI juga mempertanyakan substansi pasal tersebut, yang dianggap dapat diinterpretasikan sebagai upaya intervensi terhadap kemerdekaan pers di Indonesia. 

Mereka menilai, revisi RUU Penyiaran berpotensi menjadi alat politik tertentu untuk membatasi kebebasan jurnalistik yang profesional dan berkualitas.

Pasal lain yang menjadi sorotan IJTI adalah Pasal 50 B ayat 2 huruf k, yang mengatur penayangan isi siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. 

“Pasal ini sangat multitafsir, terutama dalam hal penghinaan dan pencemaran nama baik, dan berpotensi digunakan sebagai alat untuk membatasi kebebasan pers,” lanjut Herik.

Lebih lanjut, IJTI juga menyoroti Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2 yang menetapkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

Mereka berpendapat bahwa penyelesaian sengketa semacam itu seharusnya dilakukan di Dewan Pers, sesuai dengan UU Pers No. 40 Tahun 1999.

Herik menegaskan, mandat regulasi kehidupan pers harus dipegang oleh komunitas pers itu sendiri melalui self regulation. 

Oleh karena itu, IJTI mendesak agar setiap sengketa yang melibatkan karya jurnalistik, baik di media penyiaran, cetak, maupun digital, harus diselesaikan melalui Dewan Pers.

“Langkah ini dianggap penting untuk memastikan bahwa kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas, dan bertanggung jawab dapat berlangsung secara independen dan tidak terintervensi oleh pihak manapun,” tandasnya,

Penulis :
Aditya Andreas
Editor :
Muhammad Rodhi