
Pantau - Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyoroti minimnya demokrasi internal di dalam partai politik di Indonesia. Menurutnya, demokrasi internal di partai kerap diabaikan, seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang sudah terjadi secara otomatis.
Ia berpendapat, hal ini berdampak pada transformasi partai politik menjadi entitas yang lebih mirip perusahaan atau kepemilikan keluarga.
"Demokrasi internal tidak pernah disentuh. Seolah-olah itu adalah taken for granted yang terjadi di hulu/partai. Akibatnya, partai politik saat ini lebih mirip perseroan terbatas atau milik keluarga. Jadi jika demokrasi internal dalam partai tidak ada, bagaimana bisa masuk ke ranah publik secara luas?" ujar Didik.
Ia menjelaskan bahwa partai politik bisa menjadi lebih demokratis jika dipaksa oleh aturan yang ketat atau melalui tekanan publik yang kuat.
Menurutnya, saringan demokratis seperti mekanisme check and balances, kontrol publik, dan transparansi perlu diperkuat untuk membersihkan kotoran kepentingan dalam partai.
"Saringannya itu adalah check and balances, kontrol publik, transparansi, dan seterusnya. Jadi demokrasi internal di dalam partai itu tidak terjadi karena sebab dari para elit partai," jelasnya.
Ia juga menyebut, adanya warisan kekuasaan seperti Megawati yang dianggap sebagai penerus Soekarno dalam internal PDIP.
Selain itu, Didik juga menyoroti tidak adanya mekanisme transparan dalam pengambilan keputusan partai, yang sebagian besar terkonsentrasi pada ketua partai. Ia menyebut partai seperti Golkar, misalnya, di mana keputusan politik ditentukan oleh segelintir elit.
"Otak dari 100 orang partai Golkar hanya ditentukan oleh satu orang ketua partai. Sehingga keputusan-keputusan di DPR yang sudah jelas tidak demokratis lebih disebabkan oleh demokrasi internal partai yang memang sudah tidak ada," tegasnya.
Sebagai solusi atas minimnya demokrasi internal partai, Didik menawarkan dua langkah. Pertama, proses regenerasi yang harus dijalankan secara konsisten, meski ia mencontohkan bahwa upaya regenerasi oleh tokoh seperti Anas Urbaningrum telah terhenti akibat kasus korupsi.
Kedua, ia mendorong sistem berbasis teknologi untuk menciptakan transparansi, terutama dalam pengelolaan keuangan partai.
"Keuangan partai tidak boleh lepas dari teknologi yang transparan. Tidak boleh lagi ada pembelian dengan uang kertas. Seperti saat kita menggunakan kartu kredit yang mudah diawasi," jelasnya.
Namun, Didik juga mengakui bahwa aturan-aturan tentang partai politik, terutama terkait penggunaan keuangan, telah dilumpuhkan. Ia menyoroti melemahnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama pemerintahan Presiden Jokowi, yang membuat pengawasan terhadap partai politik menjadi lemah.
"Aturan-aturan itu telah dilumpuhkan ketika KPK dimandulkan oleh Jokowi dkk. Pegawai KPK pun sudah jadi ASN," pungkasnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas