
Pantau - Direktur Ekesekutif Partner Politik Indonesia AB Solissa memprediksi pemakzulan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto sangat mungkin terjadi.
Pasalnya, sore ini Airlangga dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus korupsi ekpor minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil (CPO).
AB Solissa pun menyebut jika hal buruk menimpa Airlangga, maka akan sama nasibnya dengan Setya Novanto yang terseret kasus E-KTP.
"Saya melihat, peluang Airlangga dimakzulkan dari Ketua Umum sangat mungkin terjadi, apalagi bila dalam proses pemeriksaan oleh Kejagung terkait korupsi CPO, termasuk BTS Kominfo ini terbukti melibatkan Airlangga, maka nasibnya akan sama dengan Setya Novanto yang terjerat kasus E-KTP," katanya saat dihubungi Pantau.com, Selasa (18/7/2023).
Melansir dari Antara, eks Ketua DPR Setya Novanto divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik tahun anggaran 2011-2012.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan kedua menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp500 juta," kata ketua majelis hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/4/2018).
Vonis itu berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS dikurangi dengan uang yang dikembalikan sebesar Rp5 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun," tambah hakim Yanto.
Vonis lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp5 miliar subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim yang terdiri dari Yanto sebagai ketua majelis hakim dengan anggota majelis Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagja, Anwar dan Sukartono juga mencabut hak politik terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu selama beberapa waktu.
"Mencabut hak terdakwa dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pemindaan," ungkap hakim Yanto.
Hakim pun menolak permohonan Setya Novanto sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) seperti dalam tuntutan JPU KPK.
"Karena jaksa penuntut umum menilai tedakwa belum memenuhi syarat untuk dijadikan saksi pelaku yang bekerja sama maka majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa," kata hakim Anwar.
Atas putusan itu, Setnov dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir.
Pasalnya, sore ini Airlangga dijadwalkan menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait kasus korupsi ekpor minyak sawit mentah alias Crude Palm Oil (CPO).
AB Solissa pun menyebut jika hal buruk menimpa Airlangga, maka akan sama nasibnya dengan Setya Novanto yang terseret kasus E-KTP.
"Saya melihat, peluang Airlangga dimakzulkan dari Ketua Umum sangat mungkin terjadi, apalagi bila dalam proses pemeriksaan oleh Kejagung terkait korupsi CPO, termasuk BTS Kominfo ini terbukti melibatkan Airlangga, maka nasibnya akan sama dengan Setya Novanto yang terjerat kasus E-KTP," katanya saat dihubungi Pantau.com, Selasa (18/7/2023).
Melansir dari Antara, eks Ketua DPR Setya Novanto divonis 15 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi pengadaan KTP-Elektronik tahun anggaran 2011-2012.
"Mengadili, menyatakan terdakwa Setya Novanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama seperti dakwaan kedua menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama 15 tahun dan denda Rp500 juta," kata ketua majelis hakim Yanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/4/2018).
Vonis itu berdasarkan dakwaan kedua dari Pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
"Menjatuhkan pidana tambahan membayar uang pengganti sebesar 7,3 juta dolar AS dikurangi dengan uang yang dikembalikan sebesar Rp5 miliar selambat-lambatnya 1 bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terdakwa disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terdakwa tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 2 tahun," tambah hakim Yanto.
Vonis lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Setya Novanto dituntut 16 tahun penjara ditambah denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sejumlah 7,435 juta dolar AS dan dikurangi Rp5 miliar subsider 3 tahun penjara.
Majelis hakim yang terdiri dari Yanto sebagai ketua majelis hakim dengan anggota majelis Frangki Tambuwun, Emilia Djajasubagja, Anwar dan Sukartono juga mencabut hak politik terdakwa untuk menduduki jabatan tertentu selama beberapa waktu.
"Mencabut hak terdakwa dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun setelah selesai menjalani masa pemindaan," ungkap hakim Yanto.
Hakim pun menolak permohonan Setya Novanto sebagai saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator) seperti dalam tuntutan JPU KPK.
"Karena jaksa penuntut umum menilai tedakwa belum memenuhi syarat untuk dijadikan saksi pelaku yang bekerja sama maka majelis hakim tidak dapat mempertimbangkan permohonan terdakwa," kata hakim Anwar.
Atas putusan itu, Setnov dan JPU KPK menyatakan pikir-pikir.
- Penulis :
- khaliedmalvino