
Pantau - Redea Institute mengajak para orang tua memahami peluang dan risiko kecerdasan buatan (AI) bagi pendidikan anak masa kini.
Pendiri dan CEO Redea Institute Antarina S.F. Amir menyatakan bahwa AI kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, mulai dari navigasi ponsel hingga sistem rekomendasi media sosial.
Ia menegaskan bahwa seperti inovasi besar lainnya, AI membawa potensi sekaligus tantangan, mulai dari kemalasan berpikir, bias algoritmik, kemudahan belajar, hingga disinformasi.
Pendidikan memiliki peran penting bukan untuk melarang teknologi, tetapi untuk membekali anak dengan kemampuan hidup esensial seperti berpikir kritis, bertanggung jawab, dan berpegang pada nilai kemanusiaan.
“Kini saatnya kita memikirkan kembali peran kecerdasan buatan dalam pendidikan, dan bagaimana kita dapat mempersiapkan anak-anak sebagai pemikir digital yang siap menghadapi tantangan masa depan”, ungkapnya.
Literasi AI dianggap sebagai bagian penting dari tujuan utama pembelajaran untuk membentuk pemimpin masa depan yang memiliki regulasi diri dan pandangan jauh ke depan.
Literasi AI didefinisikan sebagai kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan AI secara bertanggung jawab agar alat seperti ChatGPT dan Gemini digunakan untuk mendukung pembelajaran.
Pembekalan literasi AI sejak dini bukan pilihan, tetapi kebutuhan agar anak menjadi pemikir digital yang mampu menilai, mencipta, dan menavigasi dunia secara bijaksana.
Pakar teknologi pendidikan asal AS Ken Shelton menjelaskan bahwa anak-anak saat ini tumbuh di era ketika AI sudah menjadi hal lazim, mulai dari chatbot hingga sistem personalisasi digital.
Ia menyatakan bahwa pendidikan AI harus dilihat sebagai literasi baru yang sama pentingnya dengan baca-tulis-hitung.
“AI tidak seharusnya menjadi penghalang belajar, justru hadir sebagai sarana yang menuntun siswa merumuskan pertanyaan yang tepat dan menggali pengetahuan lebih dalam”, ungkapnya.
Shelton menekankan perlunya kerja sama kuat antara sekolah dan keluarga dalam mengarahkan pemanfaatan AI.
“AI bukan otoritas kebenaran. Kitalah yang memegang otoritas itu. Tugas kita adalah bertanya, memverifikasi, dan mengajarkan anak melakukan hal yang sama”, ia mengungkapkan.
Ia menyebut bahwa salah satu tugas sekolah adalah membentuk pola pikir siswa agar mampu mengajukan pertanyaan yang tepat dan memverifikasi informasi sehingga dapat membedakan fakta dari hoaks di tengah arus informasi digital yang besar.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf








