
Pantau.com - Sebanyak 387 pemimpin internasional termasuk otoritas-otoritas hak-hak asasi manusia, LSM dan komunitas keagamaan mengangkat mendesak Korea Selatan untuk menghentikan penindasan terhadap kelompok agama minoritas bernama Gereja Yesus Shincheonji untuk COVID-19.
Setelah merebaknya wabah, pengadilan daerah sedang menginvestigasi dengan dugaan penyebaran COVID-19 secara sengaja dengan menahan 6 petugas gereja termasuk Ketua Gereja Shincheonji Lee Man-hee. Dan pemerintah kota Seoul membatalkan izin organisasi HWPL, sebuah organisasi perdamaian internasional yang Lee telah dirikan.
Di Inggris, Ketua International Human Rights Committee, Iftikhar Ayaz mengatakan penganiayaan brutal terhadap anggota-anggota Gereja Shincheonji di Korea dan penyangkalan yang tidak manusiawi dengan mencabut izin badan hukumnya adalah sebuah kelalaian mengerikan dari tanggung jawab negara yang seharusnya memperlakukan semua warga negara dengan setara tanpa diskriminasi apa pun.
“Pemerintah harus melaksanakan dalam prakteknya UN Universal Declaration of Human Rights yang menekankan martabat manusia yang melekat dan hak-hak dari semua anggota keluarga manusia yang tidak dapat dicabut."
Baca juga: Gereja Shincheonji Jadi Kambing Hitam, Cendekiawan Internasional Prihatin
Franklin Hoet Linares dari Venezuela, Mantan Presiden dan Presiden Honorary Life dari World Jurist Association, juga turut bersuara. Ia melihat jika apa yang terjadi di Korea Selatan, itu merupakan aib dan diskriminasi.
“Jika komentar-komentar yang sedang disebar-luaskan adalah benar, saya tidak akan ragu-ragu untuk menyebutnya sebagai aib nasional dan aib kemanusiaan, selain mengubahkan serangan-serangan yang keji seperti itu menjadi diskriminasi terhadap kebebasan beragama. Kami tidak mengerti mengapa, di sebuah negara di mana kebebasan beragama diabadikan, Pemerintah dapat membiarkan Konstitusi Korea untuk dilanggar, yang di mana tertulis secara jelas di Artikel 20, Klausul 1 dan 2 ‘Semua warga negara akan menikmati kebebasan beragama’ dan ‘agama dan negara akan dipisahkan'," tuturnya.
Direktur dari Human Rights Without Frontiers (HRWF) Willy Fautre berkata, serangan yang baru-baru ini terjadi kepada Shincheonji dapat dilihat sebagai upaya dari kelompok-kelompok Protestan fundamentalis di Korea Selatan dalam melemahkan dan menghancurkan kompetitor dalam pasar keagamaan.
Untuk diketahui, pada bulan lalu 11 LSM termasuk European Coordination of Associations dan Individuals for Freedom of Conscience (CAP-LC) menyerahkan laporan tahunan kepada UN High Commissioner for Human Rights kepada Sekretaris Umum PBB (alias UN) di sesi ke-44 dalam UN Assembly Human Rights Council.
Baca juga: Gereja Ini Dituding Sesat dan Penyebar COVID-19 di Korsel, Berikut Faktanya
Laporan itu berjudul 'mengkambing-hitamkan para anggota Shincheonji untuk COVID-19 di Republik Korea'. Di mana di dalamnya menyatakan, “virus tidak dapat menjadi sebuah alasan untuk melanggar hak-hak asasi manusia dan kebebasan beragama dari ratusan ribu orang yang percaya. Intoleransi, kekerasan, dan diskriminasi terhadap Shincheonji harus diakhiri,”
Sampai hari ini, 512 anggota Gereja Shincheonji Daegu telah mendonasikan plasma darah mereka untuk pengembangan pengobatan baru untuk COVID-19. Korea Centers for Disease Control and Prevention berencana untuk memproduksi obat-obatan terkait dengan Korona melalui plasma yang didonasikan oleh para anggota Gereja Shincheonji Daegu dan melakukan uji-uji klinis mulai September ini.
"Para anggota yang telah pulih dari COVID-19 mendonasikan plasma darah mereka sebagai balas budi untuk perawatan yang telah diberikan oleh pemerintah. Kami ingin mendukung upaya pengembangan vaksin," pungkas petugas gereja.
- Penulis :
- Tatang Adhiwidharta