
Pantau.com Bank Indonesia (BI) menyatakan peningkatan impor berpotensi memperlebar defisit transaksi berjalan menjadi 2%-2,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB). Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo mengatakan peningkatan impor disebabkan oleh pemulihan pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini 5,4%. Sementara Bank Sentral memproyeksikan ekonomi akan tumbuh 5,1%-5,5%. "Current account deficit (defisit transaksi berjalan) kita sedikit meningkat pada kisaran 2%-2,5% terhadap PDB," kata Dody, Kamis malam (18/1/2018).
Disebutkan, neraca transaksi berjalan merupakan indikator ekspor-impor barang, serta sektor jasa dari Indonesia ke negara lain. Jika nilai neraca transaksi berjalan defisit atau minus, berarti negara tersebut masih mengimpor lebih banyak barang dan jasa daripada mengekspor. Sebaliknya, jika defisitnya mengecil berarti menunjukkan perbaikan dalam aktivitas ekspor-impor barang dan jasa.
Dony mengatakan pada kuartal IV 2017, defisit transaksi berjalan akan berada pada kisaran 2% dari PDB. Sementara hingga kuartal III 2017, defisit transaksi berjalan sebesar 1,65%. "Ini masih sehat karena level di bawah 3%," ujar Dody.
Nah, faktor kenaikan harga minyak dunia tahun ini juga menjadi pengaruh untuk laju impor. Terkait itu, hingga saat ini Indonesia merupakan negara net importir migas makanya kenaikan harga minyak akan menambah defisit neraca perdagangan migas.
Kenaikan harga minyak yang hampir menyentuh US$70 per barel juga berpotensi membebani neraca jasa. Pembayaran jasa pengangkutan akan bertambah seiring peningkatan aktivitas ekspor-impor Indonesia. BI memperkirakan defisit transaksi berjalan tahun ini tidak akan melebihi 2%-2,5% dari PDB. Kondisi demikian masih batas aman dan terkendali.
- Penulis :
- Martina Prianti