
Pantau - Kalian pernah enggak sih dengar pernyataan, kegiatan perekonomian akan baik-baik saja selama kegiatan konser masih tetap ramai? Kegiatan konser ditengarai sebagai salah satu pendongkrak inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Paling tidak, lebih dari 10 konser sudah dan akan terlaksana hingga akhir 2024. Di antaranya konser Coldplay yang tiket termahalnya mencapai Rp11 juta.
Begitu juga dengan konser Bruno Mars, Super Junior, Doyoung (NCT), Stray Kids dan konser lainnya. Harga tiket yang ditawarkan dibanderol dari harga Rp100 ribu sampai Rp 8 juta untuk tiket VIP.
Pada konser Bruno Mars di Jakarta International Stadium (JIS) pada 13-14 September 2024, tiket ludes terjual dalam kurun waktu 4 jam saja. Padahal tiket yang dijual cukup mahal, menyentuh harga Rp950 ribu hingga Rp7,65 juta.
Baca juga: Deflasi 5 Bulan Beruntun, Bisnis UMKM Diklaim Masih Memuaskan
Harga tiket yang cukup mahal tersebut nyatanya selalu laris manis dibeli oleh masyarakat Indonesia sebagai konsumen.
Ternyata, hal itu tidak senada dengan data yang dikeluarkan oleh Badan pusat Statistik Nasional (BPS) yang justru mencatatkan deflasi Indonesia selama 5 bulan beruntun.
Deflasi adalah istilah dalam ekonomi saat terjadinya penurunan harga-harga barang dan jasa secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Deflasi juga dapat mencerminkan daya beli masyarakat yang sangat minim, salah satunya lantaran sulitnya mencari pekerjaan.
Hal itu diakui Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal yang baru-baru ini menilai deflasi bulan Mei-September 2024 sebagai indikasi lemahnya permintaan dan konsumsi dalam perekonomian masyarakat.
Baca juga: Tren Deflasi Berlanjut, Menko Airlangga Klaim Ekonomi Tetap Baik
Kondisi tersebut diperkuat data pertumbuhan perekonomian Indonesia pada kuartal II-2024 tercatat tumbuh sebesar 5,05 persen. Data tersebut menunjukkan, pergerakan ekonomi saat ini sangat lambat, lebih rendah dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 5,11 persen.
Menurut prediksi ekonom yang disurvei Bloomberg, pergerakan perekonomian Indonesia diperkirakan bergerak melambat hingga menyentuh 5,03 persen pada Kuartal III-2024.
Jika ekonomi memang tengah lesu, lalu kenapa masyarakat Indonesia sangat banyak melakukan belanja barang yang bersifat affordable luxury, seperti tiket menonton konser? Mengapa festival musik tidak pernah sepi?
Salah satu teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena tersebut adalah Lipstick Index. Teori ini lahir ketika Amerika Serikat (AS) mengalami resesi pada tahun 2001. Yang mencengangkan adalah ketika Leonard Lauder seorang pewaris perusahaan kosmetik Estee Lauder, menyadari bahwa penjualan produk lipstik sebagai affordable luxury mereka justru naik drastis.
Baca juga: BPS ‘Spill’ Alasan Mengapa RI Alami Deflasi 5 Bulan Beruntun
Kenaikan penjualan produk lipstik di AS ini, sama halnya dengan ludes atau laris manisnya tiket konser yang juga terdefinisikan sebagai affordable luxury dibeli masyarakat Indonesia belakangan ini.
Leonard Lauder kemudian berspekulasi, penjualan barang bersifat affordable luxury itu yang meningkat menunjukkan kondisi ekonomi sedang dalam keadaan tidak baik baik saja. Kondisi itu, bahkan sangat potensial mengalami resesi, seperti yang terjadi di AS.
Hal itu bukan tanpa alasan. Sebab, ketika barang yang mahal seperti mobil, rumah serta properti lainnya tidak dapat dibeli, masyarakat cenderung membeli sesuatu yang terjangkau alias affordable secara berlebihan, seperti lipstik dan tiket konser.
Itu terjadi sebagai bentuk morale boost alias upaya untuk meningkatkan semangat atau motivasi. Itu juga mencerminkan masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang semakin terjepit.
Baca juga: Pada September 2024, Ekonomi Indonesia Tercatat Deflasi 0,12 Persen
Pasalnya, mereka tidak dapat mengatur keuangan dan cenderung melakukan perilaku konsumtif, sebagai bentuk self reward (menghargai diri mereka sendiri) untuk mengatasi persoalan yang mereka alami.
Pantas saja, deflasi terjadi di tengah ludesnya tiket konser yang mahal. Padahal, sejatinya masyarakat tengah mengalami lemahnya daya beli yang berimbas negatif pada kondisi bisnis berbagai perusahaan dan bermuara pada sempitnya lapangna pekerjaan.
Kalangan pengusaha dan perusahaan besar pun akan melakukan pengurangan karyawan. Hal tersebut berpangkal dari lingkaran setan di mana daya beli masyarakat, perusahaan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan kembali menekan daya beli. Ini juga terlihat dari ribuan PHK yang terjadi pada industri tekstil.
Dalam situasi itu, banyak masyarakat menengah ke bawah yang justru mengalihkan pengeluarannya dengan menggunakan tabungan untuk membeli barang yang bersifat affordable luxury, seperti menonton konser sebagai bentuk self reward mereka demi mempertahankan gaya hidup mewah di era serba sulit.
Baca juga: Komisi XI: Deflasi Empat Bulan Terakhir Harus Diwaspadai
Begitulah kira-kira, hubungan deflasi dengan daya beli masyarakat kelas menengah ke bawah. Untuk masyarakat kelas menengah ke atas, keadaan justru sebaliknya.
Tidak seperti masyarakat kelas menengah bawah yang bersifat affordable luxury demi self reward dalam kondisi sulit dan terjepit secara ekonomi, masyarakat ekonomi menengah ke atas dan atas (middle upper), justru semakin menambah tabungan mereka.
Kondisi ini juga turut berperan dalam tren deflasi Indonesia, lantaran orang-orang kaya tidak membelanjakan uangnya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro menyatakan, fenomena makan tabungan ternyata hanya dialami oleh golongan menengah dan bawah, justru kalangan menengah atas mencatatkan nilai tabungan yang melonjak.
Bank Mandiri melaporkan, indeks tabungan justru naik dari level 100 di awal 2024, menjadi 106,2 di Juli 2024.
Kesimpulan
Dalam tren deflasi saat ini, teori Lipstick Index cukup reprentatif dalam menjelaskan fenomena masyarakat Indonesia, khususnya kelas menengah-bawah yang mengalihkan konsumsi dari barang-barang yang cenderung mahal, seperti mobil, rumah dan properti ke barang-barang murah tapi terkesan mewah seperti tiket konser.
Mereka membeli barang yang sifatnya memberikan kepuasan sebentar dan tidak memberikan kontribusi yang besar untuk jangka panjang alias affordable luxury. Hal tersebut sebagai bentuk pelarian psikologis dari tekanan ekonomi.
Dengan demikian, kalangan menengah ke bawah sedang merasa perlu untuk tetap mempertahankan gengsi dan menikmati hidup meskipun dalam kondisi sulit. Situasi ini, mencerminkan adanya aktivitas atau geliat ekonomi di sektor-sektor tertentu, tapi bukan berarti ekonomi secara keseluruhan baik-baik saja. Tidak menutup kemungkinan, itu bahkan menjadi pintu gerbang resesi suatu negara, tak terkecuali Indonesia.
(Laporan: Bayu Aji Pamungkas)
- Penulis :
- Ahmad Munjin
- Editor :
- Ahmad Munjin