
Pantau - PT Pertamina (Persero) akan mengevaluasi harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi seperti Pertamax series pada akhir Juni 2025 menyusul lonjakan harga minyak dunia akibat konflik bersenjata antara Iran dan Israel.
Evaluasi dilakukan sebagai bagian dari mekanisme rutin penyesuaian harga yang biasanya diumumkan pada awal bulan, tepatnya tanggal 1 setiap bulannya.
"Kami evaluasi, melihat pergerakan di akhir bulan ini, nanti per tanggal 1 seperti biasa akan ada penyesuaian (harga) untuk yang non-subsidi," ungkap Fadjar Djoko Santoso, Corporate Secretary Pertamina.
Kenaikan Harga Minyak Dipicu Ketegangan Timur Tengah
Ketegangan meningkat sejak Jumat lalu ketika Israel melancarkan serangan udara ke sejumlah titik strategis di Iran, termasuk fasilitas militer dan nuklir.
Sebagai balasan, Iran meluncurkan serangan rudal yang menewaskan sedikitnya 24 orang di Israel dan menyebabkan ratusan lainnya luka-luka, menurut pernyataan pemerintah Israel.
Sementara itu, Iran menyebutkan bahwa serangan Israel menyebabkan kematian setidaknya 224 orang dan melukai lebih dari 1.000 lainnya.
Salah satu dampak signifikan dari konflik ini adalah penutupan seluruh fasilitas milik perusahaan kilang minyak terbesar Israel, Bazan, di Pelabuhan Haifa akibat kerusakan dari serangan rudal Iran.
Perkembangan ini turut mendorong lonjakan harga minyak dunia yang saat ini berada pada kisaran 72–74 dolar AS per barel.
Angka tersebut jauh di atas rata-rata harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price / ICP) yang tercatat sebesar 65,29 dolar AS per barel.
Faktor Penentu Harga dan Potensi Krisis Energi
Fadjar menjelaskan bahwa harga BBM nonsubsidi tidak hanya dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak global, tetapi juga oleh nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta kebijakan perpajakan.
"Nanti kami melalui Pertamina Patra Niaga akan evaluasi untuk menetapkan harga," ia menambahkan.
Selain itu, risiko lonjakan harga minyak masih terbuka, terutama jika Iran mengambil langkah untuk menutup Selat Hormuz, jalur vital yang menangani 20 persen pengiriman minyak global.
Selat Hormuz juga menjadi jalur utama untuk 80 persen perdagangan minyak dan gas alam cair (Liquefied Natural Gas / LNG) yang berasal dari Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab.
Sejumlah analis memperkirakan harga minyak berpotensi melonjak hingga menyentuh angka 130 dolar AS per barel apabila Selat Hormuz ditutup sepenuhnya.
- Penulis :
- Arian Mesa