
Pantau - Hingga tahun 2029, Indonesia masih bergantung pada impor sapi dan daging beku untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional akibat keterbatasan produksi dalam negeri.
Strategi impor sapi bakalan dan daging beku diterapkan untuk menutup kesenjangan pasokan sekaligus menjamin ketersediaan daging bagi konsumen.
Namun di sisi lain, kondisi ini menempatkan peternak rakyat dalam dilema karena sapi lokal sulit bersaing dari sisi harga dan pasokan.
Ketimpangan Pasar dan Tantangan Peternak Lokal
Permintaan pasar terhadap daging tinggi, namun hasil pembiakan sapi lokal kerap tidak dihargai, bahkan kalah bersaing dengan sapi impor yang lebih murah dan mudah diakses.
Rantai distribusi yang panjang dan harga jual yang tak sebanding dengan biaya produksi membuat posisi tawar peternak semakin lemah.
Biaya produksi yang tinggi—termasuk harga pedet, pakan, tenaga kerja, dan perawatan kesehatan—membuat penggemukan sapi lokal sulit memberikan keuntungan.
Peternak juga kesulitan menjual sapi di luar momentum besar seperti Idul Adha, yang menjadi satu-satunya waktu harga jual dapat mencapai Rp65.000/kg bobot hidup.
"Pasar domestik belum sepenuhnya ramah terhadap sapi lokal. Tanpa perlindungan, semangat peternak bisa melemah," ungkap seorang pelaku peternakan.
Kondisi ini diperparah dengan akses pasar yang terbatas karena sebagian besar peternak masih bergantung pada tengkulak dan tidak terhubung langsung dengan rumah potong hewan (RPH) modern.
Biaya Tinggi dan Tekanan di Hulu-Hilir
Di bagian hulu, peternak menghadapi biaya produksi yang tinggi, seperti yang terjadi pada sistem breeding di Jawa.
Biaya pakan harian bisa mencapai Rp15.000 per ekor, sementara total biaya produksi satu pedet bisa menyentuh Rp9.278.350.
Sementara itu, sistem integrasi sapi-sawit yang lebih efisien hanya memerlukan Rp9.500 per ekor per hari, dengan total produksi pedet Rp4.581.901.
Namun, usaha pembesaran tetap membutuhkan investasi besar dan belum memberikan hasil optimal.
Tekanan di hilir juga signifikan.
Harga sapi lokal per kilogram bobot hidup lebih tinggi daripada sapi impor.
Sapi lokal hanya laku keras saat Lebaran Haji, sementara di luar itu harga jualnya turun hingga Rp52.000/kg.
Sapi impor bakalan bisa diperoleh dengan harga sekitar Rp48.000–49.000/kg, membuat sapi lokal tidak kompetitif.
Sapi betina gemuk tak produktif bahkan dihargai lebih murah, sekitar Rp38.000/kg, dan dara Rp42.000/kg.
Tingginya angka pemotongan sapi betina dikhawatirkan akan mengganggu populasi dan regenerasi sapi lokal.
Perlu Pendampingan Melekat dan Perlindungan Pasar
Masalah teknis seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), Lumpy Skin Disease (LSD), Septicemia Epizootica (SE), jembrana, dan parasit darah turut menurunkan populasi dan kinerja reproduksi.
Di sisi lain, pola penggemukan yang belum optimal juga mengurangi daya saing sapi lokal.
Pakan comboran yang umum digunakan bisa menyebabkan gangguan metabolik jika berlebihan, seperti asidosis dan over eating disease.
Pada musim kemarau, hijauan diganti dengan jerami padi yang rendah nutrisi.
Sapi lokal juga memiliki persentase karkas yang rendah karena faktor genetik dan sistem pemeliharaan yang kurang maksimal.
Jenis sapi seperti PO, bali, madura, dan pegon masih mendominasi, dengan sedikit simental dan limousine.
Pendampingan melekat sangat dibutuhkan agar peternak dapat memahami prinsip garbage in – garbage out dan value in – value out.
"Peternak harus diberikan pemahaman soal perbaikan genetik, manajemen pakan efisien, sistem pembelian bakalan, dan target waktu penggemukan," ujar seorang ahli peternakan.
Disarankan agar peternak mulai beralih ke sistem pakan kering atau complete feed untuk menjaga kualitas dan kuantitas pakan.
Jika persentase karkas meningkat, maka pemotongan harian akan lebih menguntungkan dan populasi sapi betina bisa diselamatkan dari pemotongan dini.
Menjaga Kedaulatan Pangan dari Desa
Sapi lokal bukan sekadar ternak, tetapi sumber kehidupan bagi jutaan keluarga di desa.
Jika pasar terus memberi keistimewaan pada impor, sapi lokal bisa terpinggirkan hingga hanya menjadi cerita sejarah.
Dampaknya bukan sekadar kehilangan daging segar rakyat, tetapi juga kehilangan ruh dari kemandirian pangan nasional.
Keberhasilan penggemukan sapi lokal akan mendorong pembiakan bakalan berkualitas, yang pada akhirnya memperkuat ekosistem peternakan nasional dari hulu ke hilir.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf