
Pantau - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan adanya empat modus utama yang sering digunakan eksportir untuk menghindari pembayaran bea keluar, yang berpotensi menyebabkan kerugian signifikan bagi negara.
Empat modus tersebut meliputi kesalahan administratif dalam pemberitahuan jumlah atau jenis barang serta pos tarif, penyamaran barang ekspor sebagai barang antarpulau/domestik, pencampuran barang ilegal ke dalam barang legal, dan penyelundupan langsung melalui ekspor tanpa dokumen resmi.
"Pengawasan yang ketat terhadap modus-modus ini menjadi kunci untuk menjaga integritas proses ekspor komoditas bea keluar", ungkapnya.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) menjalankan strategi pengawasan dalam tiga tahap utama.
Tahap pre-clearance mencakup penguatan intelijen kepabeanan untuk memetakan titik rawan ekspor ilegal, pertukaran data lintas kementerian, serta monitoring dan analisis guna mendeteksi anomali dalam data perdagangan.
Tahap clearance dilakukan dengan analisis dokumen ekspor secara ketat, penggunaan peralatan seperti Gamma Ray dan X-Ray, serta patroli laut untuk memastikan kesesuaian pergerakan barang.
Tahap post-clearance melibatkan kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak dan Kementerian Perdagangan dalam pelaksanaan audit menyeluruh agar potensi pelanggaran dapat terdeteksi secara komprehensif.
Purbaya melaporkan bahwa kinerja pengawasan bea keluar terus meningkat dan berdampak signifikan terhadap penerimaan negara.
Data menunjukkan bahwa penerimaan dari hasil pengawasan mencapai Rp191,5 miliar pada 2023, meningkat menjadi Rp477,9 miliar pada 2024, dan hingga November 2025 telah menyentuh angka Rp496,7 miliar, terutama dari penerbitan nota pembetulan.
“Perkembangan ini menggambarkan bahwa penguatan pengawasan administrasi dan peningkatan kepatuhan eksportir berperan penting dalam menjaga penerimaan negara dari komoditas bea keluar”, ia mengungkapkan.
Aktivitas penindakan terhadap ekspor ilegal juga menunjukkan tren peningkatan dalam tiga tahun terakhir, terutama pada kategori ekspor umum dan barang kiriman.
Pada tahun 2023, tercatat 258 kasus ekspor umum yang ditindak, sementara tahun 2024 sebanyak 255 kasus, dan sejak awal 2025 hingga saat ini sebanyak 155 kasus.
Nilai barang hasil penindakan juga cukup signifikan, yakni Rp326 miliar pada 2023, Rp313 miliar pada 2024, dan sekitar Rp219,8 miliar pada 2025 hingga bulan Desember ini.
“Perkembangan ini menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan baik melalui pemeriksaan fisik, analisis risiko, maupun audit telah memberikan dampak yang nyata dalam memperbaiki tata kelola ekspor dan mencegah potensi kebocoran penerimaan negara”, tegas Purbaya.
- Penulis :
- Leon Weldrick





