
Pantau - Kementerian Agama Republik Indonesia menerapkan skema murur atau melintas di Muzdalifah tanpa turun dari kendaraan sebagai solusi bagi jemaah haji lanjut usia, disabilitas, dan berisiko tinggi dalam menjalankan ibadah haji.
Mabit atau bermalam di Muzdalifah merupakan bagian dari rangkaian wajib haji yang dilaksanakan pada malam 9 Zulhijah hingga dini hari 10 Zulhijah, di mana jutaan jemaah berkumpul di padang pasir terbuka seluas 12,25 km persegi yang dikenal sebagai Masy'aril Haram.
Di Muzdalifah tidak disediakan tenda, dan jemaah biasanya beristirahat di atas karpet beratapkan langit malam.
Murur Dianggap Sah, Tidak Kena Dam, dan Sesuai Prinsip Rukhsah
Skema murur dilakukan dengan tetap berada di atas bus saat melewati Muzdalifah setelah wukuf di Arafah.
Kementerian Agama menjelaskan bahwa mabit dengan cara murur dianggap sah apabila jemaah tetap berada di area Muzdalifah hingga melewati tengah malam.
Jika belum melewati tengah malam, jemaah tetap bisa mengikuti pendapat yang menyatakan mabit di Muzdalifah hukumnya sunah.
Jemaah yang mengikuti skema murur tidak dikenakan dam dan hajinya tetap dinyatakan sah.
KH M Ulinnuha dari Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) menegaskan bahwa murur dibolehkan dalam fikih haji dan memiliki dasar kuat dalam syariat.
“Dalam riwayat sahih, Nabi Muhammad SAW pernah memberikan izin kepada sahabat tertentu untuk tidak mabit di Muzdalifah,” ujarnya.
Mazhab Hanafi menyatakan mabit di Muzdalifah hukumnya sunah, sementara ulama Mesir mengeluarkan fatwa bahwa murur dibolehkan karena mustahil jutaan jemaah bisa bermalam di satu tempat secara bersamaan.
Kemenag menargetkan lebih dari 50 ribu jemaah mengikuti skema murur tahun ini.
Langkah ini diharapkan dapat mengurangi kepadatan di Muzdalifah, mempercepat pergerakan jemaah ke Mina, serta mencegah kelelahan yang berlebihan, terutama bagi jemaah dengan uzur syar’i.
- Penulis :
- Balian Godfrey