
Pantau - Romo Magnis Susen SJ membeberkan ada 3 poin moral yang bisa meringankan terdakwa Bharada Richard Eliezer dalam kasus pembunuhan Yosua Hutabarat.
Seperti diketahui Romo Magnis dihaadirkan oleh pengacara Eliezer sebagai saksi ahli etika filsafat moral. Romo Magnis merupakan satu dari 3 saksi ahli meringankan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), hari ini.
Mulanya, pengacara Eliezer, Ronny Talapessy menanyakan apa saja unsur-unsur yang bisa meringankan kliennya dalam kasus pembunuhan Yosua. Romo Magnis lalu mengungkapkan sejumlah unsur tersebut.
"Terkait dengan peristiwa penembakan terhadap Yosua oleh Eliezer dari sudut kajian filsafat moral apa saja unsur-unsur yang dapat meringankan Eliezer?" tanya Ronny.
Dalam kasus ini, kata Romo Magnis, Eliezer diperintah atasannya yang berpangkat lebih tinggi, yakni Ferdy Sambo. Ia mengatakan, ada budaya 'laksanakan' yang tak mungkin ditolak Eliezer.
Baca juga: Detik-detik Penembakan Brigadir Yosua Versi Ferdy Sambo, Perintahnya ‘Hajar Cad!’
"Menurut saya yang tentu paling meringankan adalah kedudukan yang memberikan perintah itu, kedudukan tinggi yang jelas memberi perintah yang di dalam sejauh, di dalam kepolisian tentu akan ditaati tidak mungkin katanya Eliezer 24 umurnya, jadi masih muda itu laksanakan itu, budaya laksanakan itu, adalah unsur yang paling kuat," kata Romo Magnis.
Lalu, lanjut Romo Magnis, Eliezer ketika itu berada dalam situasi menegangkan dan membingungkan. Eliezer dinilai tak memiliki waktu mempertimbangkan dengan matang lantaran keterbatasan untuk memutuskan.
"Yang kedua tentu keterbatasan situasi itu yang tegang yang amat sangat membingungkan saya kira semua itu, di mana dia saat itu harus menentukan laksanakan atau tidak, tidak ada waktu untuk melakukan pertimbangan matang, di mana kita umumnya kalau ada keputusan penting coba ambil waktu tidur dulu, dia harus langsung bereaksi. Menurut saya itu tentu dua faktor yang secara etis sangat meringankan," ujarnya.
Romo Magnis juga menyatakan soal situasi di mana atasan memerintahkan bawahannya untuk menembak di dalam pertempuran militer. Dari hal itulah, menurutnya, jika seorang atasan polisi memerintahkan 'tembak', itu tidak total sama sekali tak masuk akal.
"Tambahan satu poin, dalam kepolisian seperti di dalam situasi pertempuran militer di dalam kepolisian memang bisa ada situasi di mana atasan memberi perintah tembak itu di dalam segala profesi lain tidak ada itu. Jadi bahwa seorang atasan polisi memberi perintah tembak itu tidak total sama sekali tidak masuk akal, " kata Romo Magnis.
Diberitakan sebelumnya, terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo menegaskan bahwa dirinya memerintahkan Richard Eliezer atau Bharada E untuk menghajar Brigadir J.
Hal itu disampaikan Ferdy Sambo ketika menyampaikan kesaksian dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (7/12/2022).
“Saya bilang, ‘Kamu kurang ajar!’ Saya perintahkan Richard untuk hajar,” kata Sambo.
Ketika hakim bertanya bagaimana Ferdy Sambo memerintahkan Richard untuk menghajar Brigadir J, mantan Kadiv Propam Polri itu pun mempraktikkan dengan menyerukan ‘Hajar, Cad! Kamu hajar, Cad!’.
Usai perintah tersebut ia berikan, Richard pun menembak Yosua hingga roboh. Ferdy Sambo mengungkapkan bahwa penembakan tersebut berlangsung dengan cepat.
Baca juga: Ahli Psikolog Sebut Richard Eliezer Miliki Kejujuran dan Kepatuhan Sangat Tinggi
“Itu kejadian cepat sekali. Tidak sampai sekian detik karena cepat sekali penembakan itu,” ucap Sambo.
Lantas, Sambo pun mengaku kaget karena Richard menembak Yosua. Atas kejadian tersebut, Ferdy Sambo juga sempat memerintahkan Richard untuk berhenti ketika melihat Yosua terjatuh.
“Saya kaget, kemudian saya sampaikan, ‘Setop! Berhenti!’ begitu melihat Yosua jatuh. Kemudian, sudah berlumuran darah. Saya jadi panik, Yang Mulia,” tuturnya.
Setelah melihat Richard menembak Yosua, Sambo mengaku sempat bingung mengenai bagaimana ia harus menyelesaikan kasus penembakan tersebut.
Kemudian, Sambo berpikir berdasarkan pengalamannya, yang paling memungkinkan dari peristiwa penembakan ini adalah kejadian tembak-menembak.
“Akhirnya, kemudian saya melihat ada senjata Yosua di pinggang (Yosua), kemudian saya mengambil dan mengarahkan tembakan ke dinding, Yang Mulia,” ucapnya.
Setelah itu, Sambo meletakkan senjata Yosua di samping tubuh Yosua, meminta Ricky untuk mengantar Putri Candrawathi ke rumah di Saguling, dan meminta Prayogi selaku sopir untuk menghubungi ambulans.
“Karena saya berpikir, mungkin masih bisa dibawa ke rumah sakit, Yang Mulia,” tambah Sambo.
Seperti diketahui Romo Magnis dihaadirkan oleh pengacara Eliezer sebagai saksi ahli etika filsafat moral. Romo Magnis merupakan satu dari 3 saksi ahli meringankan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), hari ini.
Mulanya, pengacara Eliezer, Ronny Talapessy menanyakan apa saja unsur-unsur yang bisa meringankan kliennya dalam kasus pembunuhan Yosua. Romo Magnis lalu mengungkapkan sejumlah unsur tersebut.
"Terkait dengan peristiwa penembakan terhadap Yosua oleh Eliezer dari sudut kajian filsafat moral apa saja unsur-unsur yang dapat meringankan Eliezer?" tanya Ronny.
Dalam kasus ini, kata Romo Magnis, Eliezer diperintah atasannya yang berpangkat lebih tinggi, yakni Ferdy Sambo. Ia mengatakan, ada budaya 'laksanakan' yang tak mungkin ditolak Eliezer.
Baca juga: Detik-detik Penembakan Brigadir Yosua Versi Ferdy Sambo, Perintahnya ‘Hajar Cad!’
"Menurut saya yang tentu paling meringankan adalah kedudukan yang memberikan perintah itu, kedudukan tinggi yang jelas memberi perintah yang di dalam sejauh, di dalam kepolisian tentu akan ditaati tidak mungkin katanya Eliezer 24 umurnya, jadi masih muda itu laksanakan itu, budaya laksanakan itu, adalah unsur yang paling kuat," kata Romo Magnis.
Lalu, lanjut Romo Magnis, Eliezer ketika itu berada dalam situasi menegangkan dan membingungkan. Eliezer dinilai tak memiliki waktu mempertimbangkan dengan matang lantaran keterbatasan untuk memutuskan.
"Yang kedua tentu keterbatasan situasi itu yang tegang yang amat sangat membingungkan saya kira semua itu, di mana dia saat itu harus menentukan laksanakan atau tidak, tidak ada waktu untuk melakukan pertimbangan matang, di mana kita umumnya kalau ada keputusan penting coba ambil waktu tidur dulu, dia harus langsung bereaksi. Menurut saya itu tentu dua faktor yang secara etis sangat meringankan," ujarnya.
Romo Magnis juga menyatakan soal situasi di mana atasan memerintahkan bawahannya untuk menembak di dalam pertempuran militer. Dari hal itulah, menurutnya, jika seorang atasan polisi memerintahkan 'tembak', itu tidak total sama sekali tak masuk akal.
"Tambahan satu poin, dalam kepolisian seperti di dalam situasi pertempuran militer di dalam kepolisian memang bisa ada situasi di mana atasan memberi perintah tembak itu di dalam segala profesi lain tidak ada itu. Jadi bahwa seorang atasan polisi memberi perintah tembak itu tidak total sama sekali tidak masuk akal, " kata Romo Magnis.
Ferdy Sambo perintahkan 'hajar' Yosua
Diberitakan sebelumnya, terdakwa kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat, Ferdy Sambo menegaskan bahwa dirinya memerintahkan Richard Eliezer atau Bharada E untuk menghajar Brigadir J.
Hal itu disampaikan Ferdy Sambo ketika menyampaikan kesaksian dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan Brigadir J di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (7/12/2022).
“Saya bilang, ‘Kamu kurang ajar!’ Saya perintahkan Richard untuk hajar,” kata Sambo.
Ketika hakim bertanya bagaimana Ferdy Sambo memerintahkan Richard untuk menghajar Brigadir J, mantan Kadiv Propam Polri itu pun mempraktikkan dengan menyerukan ‘Hajar, Cad! Kamu hajar, Cad!’.
Usai perintah tersebut ia berikan, Richard pun menembak Yosua hingga roboh. Ferdy Sambo mengungkapkan bahwa penembakan tersebut berlangsung dengan cepat.
Baca juga: Ahli Psikolog Sebut Richard Eliezer Miliki Kejujuran dan Kepatuhan Sangat Tinggi
“Itu kejadian cepat sekali. Tidak sampai sekian detik karena cepat sekali penembakan itu,” ucap Sambo.
Lantas, Sambo pun mengaku kaget karena Richard menembak Yosua. Atas kejadian tersebut, Ferdy Sambo juga sempat memerintahkan Richard untuk berhenti ketika melihat Yosua terjatuh.
“Saya kaget, kemudian saya sampaikan, ‘Setop! Berhenti!’ begitu melihat Yosua jatuh. Kemudian, sudah berlumuran darah. Saya jadi panik, Yang Mulia,” tuturnya.
Setelah melihat Richard menembak Yosua, Sambo mengaku sempat bingung mengenai bagaimana ia harus menyelesaikan kasus penembakan tersebut.
Kemudian, Sambo berpikir berdasarkan pengalamannya, yang paling memungkinkan dari peristiwa penembakan ini adalah kejadian tembak-menembak.
“Akhirnya, kemudian saya melihat ada senjata Yosua di pinggang (Yosua), kemudian saya mengambil dan mengarahkan tembakan ke dinding, Yang Mulia,” ucapnya.
Setelah itu, Sambo meletakkan senjata Yosua di samping tubuh Yosua, meminta Ricky untuk mengantar Putri Candrawathi ke rumah di Saguling, dan meminta Prayogi selaku sopir untuk menghubungi ambulans.
“Karena saya berpikir, mungkin masih bisa dibawa ke rumah sakit, Yang Mulia,” tambah Sambo.
#Romo Magnis#PN Jaksel#Yosua Hutabarat#Sidang Ferdy Sambo#saksi ahli#Richard Eliezer#Ronny Talapessy
- Penulis :
- khaliedmalvino