
Pantau - Profesor Suparmoko, ahli ekonomi lingkungan dari Universitas Bina Bangsa, menekankan perlunya pihak-pihak yang terlibat dalam tambang ilegal untuk bertanggung jawab penuh atas kerusakan lingkungan dan kerugian negara. Hal ini disampaikan dalam kesaksiannya di sidang kasus dugaan korupsi sektor timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/10/2024).
Menurut Suparmoko, asas "pencemar membayar"—tertuang dalam UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup—mewajibkan pihak yang merusak lingkungan untuk bertanggung jawab dalam memulihkan dan mengganti rugi atas dampak yang mereka sebabkan, termasuk eksternalitas."Jika lingkungan rusak, pemulihan harus dilakukan, termasuk dampak yang meluas, seperti gangguan kesehatan dan ekonomi," ujar Suparmoko.Ia mencontohkan, kebakaran hutan di Sumatra yang mengganggu negara-negara tetangga menunjukkan besarnya skala eksternalitas dari kerusakan lingkungan.
Baca Juga:
KPK Panggil Mantan Gubernur Kaltim Awang Faroek Terkait Kasus Tambang
Selain itu, Suparmoko menegaskan bahwa tanggung jawab tidak hanya ada pada pelaku tambang ilegal, tetapi juga pada penadah hasil tambang tersebut. Catatan yang baik terkait kondisi lingkungan awal sangat diperlukan agar kerusakan dapat dihitung dengan akurat.
Kasus dugaan korupsi yang menyeret beberapa pihak terkait tambang timah, seperti Harvey Moeis dan Suparta dari PT Refined Bangka Tin (RBT), telah mengakibatkan kerugian negara yang ditaksir mencapai Rp300 triliun. Kerugian ini mencakup dampak lingkungan senilai Rp271,07 triliun, serta kerugian dalam tata kelola peralatan dan pembayaran bijih timah.
Dengan mengaplikasikan asas "pencemar membayar" dan penegakan hukum yang ketat, diharapkan ada efek jera yang kuat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam praktik tambang ilegal dan aktivitas korupsi terkait pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
- Penulis :
- Ahmad Ryansyah
- Editor :
- Ahmad Ryansyah








