
Pantau - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak nota keberatan atau eksepsi mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar terkait dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Hakim Ketua Rosihan Juhriah Rangkuti menyatakan keberatan Zarof, yang diungkapkan melalui tim penasihat hukumnya, tidak berdasarkan hukum.
"Menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa tidak dapat diterima," ujar Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin.
Untuk itu, Hakim Ketua memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut berdasarkan surat dakwaan penuntut umum dan menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.
Baca: Zarof Ricar-Pengacara Ronald Tannur Minta Dibebaskan Nilai Dakwaan Tak Jelas
Baca juga: Zarof Ricar Suap Hakim Rp5 M Demi Bebaskan Ronald Tannur, Terima Rp915 M dan 51 Kg Emas
Hakim Ketua mengungkapkan keberatan penasihat hukum Zarof pada pokoknya menyatakan bahwa dalam surat dakwaan penuntut umum, perkara yang diuraikan bukan merupakan kasus korupsi, melainkan pidana umum.
Dengan demikian, penasihat hukum Zarof menilai penegakan hukum tersebut seharusnya menjadi kewenangan pengadilan negeri, bukan pengadilan tipikor.
Selain itu, dalam keberatan penasihat hukum Zarof, menyebutkan bahwa pelanggaran oleh Zarof merupakan pelanggaran etik bagi pegawai negeri sehingga penegakannya merupakan kewenangan Dewan Etik dalam bentuk quasi-judicial.
Terhadap keberatan tersebut, majelis hakim berpendapat dalam dakwaan terdapat uraian pemberian sejumlah uang dari Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, kepada hakim di Pengadilan Negeri Surabaya oleh penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan Zarof sebagai perantara sebagai imbalan telah membebaskan Ronald Tannur.
"Maka, dakwaan penuntut umum tersebut merupakan bentuk pengaruh perkara suap yang menjadi kewenangan pengadilan tipikor, tempat pemeriksaan perkara korupsi didahulukan dari perkara lain, termasuk perkara penegakan etik oleh Dewan Etik," tutur Hakim Ketua.
Oleh karena itu, majelis hakim menilai dakwaan penuntut umum telah mencantumkan identitas lengkap terdakwa, menguraikan tindakan pidana dengan jelas, serta ditandatangani sehingga dakwaan tersebut sudah dapat digunakan sebagai dasar pemeriksaan lebih lanjut terhadap perkara.
Dalam kasus tersebut, Zarof didakwa melakukan pemufakatan jahat berupa pembantuan untuk memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim, yakni uang senilai Rp5 miliar, serta menerima gratifikasi senilai Rp915 miliar dan emas seberat 51 kilogram selama menjabat di MA untuk membantu pengurusan perkara pada tahun 2012-2022.
Pemufakatan jahat diduga dilakukan bersama penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, dengan tujuan suap kepada Hakim Ketua Soesilo, yang menangani perkara Ronald Tannur pada tingkat kasasi di MA pada tahun 2024.
Atas perbuatannya, Zarof disangkakan melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 12 B juncto Pasal 15 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.
Keberatan Pengacara dan Ibu Ronald Tannur juga Ditolak
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta juga menolak nota keberatan atau eksepsi dari penasihat hukum terpidana pembunuhan Ronald Tannur, Lisa Rachmat dan ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur terkait dengan kasus dugaan suap atas pengondisian kasus Ronald Tannur.
Hakim Ketua berpendapat bahwa keberatan kedua terdakwa ditolak, antara lain, karena penuntut umum telah menguraikan berbagai unsur tindak pidana yang didakwakan secara cermat jelas dan lengkap.
"Uraian dijelaskan berdasarkan hal-hal yang relevan dan hasil pemeriksaan penyidikan sehingga menjadi jelas tentang tindak pidana yang didakwakan," ucap Hakim Ketua dalam sidang pembacaan putusan sela majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Maka dari itu, majelis hakim memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara atas nama kedua terdakwa berdasarkan surat dakwaan penuntut umum serta menangguhkan biaya perkara sampai dengan putusan akhir.
Hakim Ketua menyebutkan salah satu keberatan kedua terdakwa melalui penasihat hukumnya, menyatakan dakwaan penuntut umum kabur atau obscuur libel, yakni tidak memenuhi syarat materiel.
Baca juga: Juru Sita PN Surabaya Terima Rp50 dari Pengacara Ronald Tannur, Ngaku Pinjam
Alasannya, sambung Hakim Ketua, dakwaan dinilai tidak menguraikan secara jelas berbagai tindakan yang dilakukan oleh para terdakwa yang sesuai dengan berbagai pasal dakwaan, baik dakwaan pertama maupun dakwaan kedua.
Dakwaan disebutkan hanya menguraikan tindakan penyerahan uang dari Meirizka kepada Lisa sehingga tidak dapat menunjukkan adanya korelasi yang jelas terkait dengan unsur-unsur dalam ketentuan pasal yang diuraikan oleh penuntut umum, baik dalam dakwaan pertama maupun dakwaan kedua.
Selain itu, Hakim Ketua menambahkan bahwa peristiwa perbuatan terdakwa dalam dakwaan kedua dinilai menyalin ulang dari uraian peristiwa dalam dakwaan pertama, sedangkan tindak pidana yang didakwakan dalam masing-masing dakwaan tersebut secara prinsip berbeda satu dengan yang lain.
Terhadap keberatan penasihat hukum para terdakwa tersebut, majelis hakim mempertimbangkan dakwaan penuntut umum telah mencantumkan tanggal dan ditandatangani serta telah mencantumkan identitas terdakwa secara lengkap.
"Dakwaan juga telah menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan serta telah menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana yang dilakukan," tutur Hakim Ketua.
Dalam kasus tersebut, ibunda Ronald Tannur, Meirizka Widjaja Tannur, didakwa memberikan suap kepada tiga hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya sebesar Rp4,67 miliar untuk memberikan "vonis bebas" pada kasus anaknya. Suap diberikan kepada Hakim Ketua Erintuah Damanik beserta hakim anggota Mangapul dan Heru Hanindyo.
Atas perbuatannya, Meirizka terancam pidana dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, penasihat hukum Ronald Tannur, Lisa Rachmat, didakwa memberikan suap kepada hakim di PN Surabaya senilai Rp4,67 miliar serta hakim di MA sebesar Rp5 miliar.
Suap diduga diberikan Lisa untuk mengondisikan perkara Ronald Tannur, baik di tingkat pertama maupun kasasi, supaya majelis hakim di tingkat pertama menjatuhkan putusan bebas Ronald Tannur dan di tingkat kasasi guna memperkuat putusan bebas itu.
Dengan demikian, Lisa terancam pidana pada Pasal 6 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf a jo. Pasal 18 dan Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
- Penulis :
- Fithrotul Uyun