
Pantau - Ketakutan dan rasa tak berdaya menyelimuti kamp pengungsi Nour Shams di Tepi Barat setelah serangan militer Israel pekan ini menghancurkan kantor UNRWA, badan PBB yang menyediakan bantuan vital bagi ribuan pengungsi Palestina di sana.
Di tengah puing-puing dan jalanan berdebu, para pengungsi memandang dengan cemas saat pekerja membersihkan sisa bangunan yang dulu menjadi simbol harapan bagi mereka.
Kamp yang menampung sekitar 13.000 penduduk ini sepenuhnya bergantung pada UNRWA untuk layanan dasar. Dua sekolah, klinik, hingga layanan kebersihan adalah bagian dari peran besar UNRWA di Nour Shams.
“Bagi kami, hanya ada UNRWA atau tidak sama sekali,” kata Shafiq Ahmad Jad, pemilik toko telepon yang melihat langsung dampak serangan tersebut.
Dia mengamati alat berat menggali puing di sekitar tokonya yang rusak, merenungkan apa yang akan terjadi jika satu-satunya harapan mereka hilang.
Baca juga: Beit Lahia jadi Zona Bencana, Serangan Israel Picu Krisis
Bagi Hanadi Jabr Abu Taqa, pejabat UNRWA untuk Tepi Barat bagian utara, kantor UNRWA adalah "ibu" bagi para pengungsi. "Bayangkan jika mereka kehilangan ibu mereka," katanya lirih.
UNRWA menuding militer Israel sebagai penyebab kehancuran kantor mereka. Namun, pihak militer Israel membantahnya, menyebut kerusakan itu “kemungkinan” akibat bahan peledak yang dipasang “teroris.”
Tapi bagi warga kamp, kehancuran ini terasa sangat nyata. Trauma psikologis yang menghantui mereka tak terukur, dan kebutuhan mereka akan bantuan justru makin mendesak.
Dari balik tokonya yang rusak, Jad yakin kekacauan ini bukan kebetulan. Ia mengaitkannya dengan undang-undang Israel yang baru-baru ini melarang UNRWA beroperasi di wilayah Israel.
“Menghilangkan UNRWA berarti menghapuskan pertanyaan Palestina,” ujarnya, seraya mengungkapkan ketakutan bahwa jika UNRWA lenyap, masalah besar lainnya akan muncul—mulai dari sampah yang menumpuk hingga kesehatan yang terabaikan.
Baca juga: Palestina Pertimbangkan Bawa UU Larangan Operasional UNRWA ke PBB
Mohammed Said Amar, seorang warga kamp berusia 70-an tahun, menambahkan bahwa serangan pada UNRWA hanyalah cara untuk menghapus hak kepulangan pengungsi Palestina. Baginya, ini adalah upaya Israel untuk meruntuhkan harapan pengungsi yang ingin kembali ke tanah mereka.
Di tempat lain, Nihaya al-Jundi merasa hidup di kamp seakan tak pernah lepas dari rasa was-was. Jalan-jalan rusak, akses tertutup, dan fasilitasnya, termasuk pusat penyandang disabilitas yang ia kelola, turut terkena dampak.
Dalam suasana ini, UNRWA tetap berusaha melanjutkan pelayanan, memastikan sekolah dibuka dan anak-anak punya tempat berlindung. Namun, bayang-bayang ketidakpastian masih menebal di hati warga.
“Mengapa hanya kami yang harus menanggung ini, sementara yang lain hidup nyaman di Ramallah?” tanya Mustafa Shibah, seorang pria berusia 70 tahun yang khawatir akan masa depan cucu-cucunya.
Di kamp pengungsi yang dulu cukup damai ini, konflik dan penderitaan seolah tak pernah berakhir. (AFP)
- Penulis :
- Khalied Malvino