Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Pesan Penting untuk HR dan Calon-calon HR di Luar Sana!

Oleh Latisha Asharani
SHARE   :

Pesan Penting untuk HR dan Calon-calon HR di Luar Sana!
Foto: Ilustrasi (Freepik)

Pantau - Baru-baru ini sebuah unggahan yang berisi pesan dan kritik kepada seluruh HR dalam memperlakukan kandidat rekrutmen ataupun karyawan menjadi topik hangat di media sosial. HR sendiri merupakan singkatan dari Human Resource yang dalam bahasa Indonesia berarti Sumber Daya Manusia.

Dari pengertian itu, bisa kita artikan kalau HR adalah divisi atau bagian dari perusahaan yang bertanggung jawab terhadap karyawan atau tenaga kerja. Sederhananya, divisi HR adalah divisi yang bertugas untuk merekrut, mengelola dan mengontrol karyawan, menjaga kepuasan dan Hak karyawan, ataupun memberhentikan karyawan.

Pokoknya apapun kendala karyawan, itu bagiannya HR.

Kembali pada kritikan yang diunggah di laman X oleh akun @Fua*** yang berisikan “Pesan untuk adik-adikku gen Z/masih kuliah yang bakal jadi HR di masa depan:” 

Mari kita bahas beberapa poin dalam postingan tersebut!

“1. Jgn nilai kandidat dari Sosmed. Kamu pun pasti punya sec account kan? Hargai lah “alter-ego” nya mereka di sosmed, bisa jadi sec acc km lebih hina isinya drpd akun utamanya dia yg isiny kjujuran.” tulisnya pada poin pertama.

Baca juga: Remaja Patah Hati Coba Bunuh Diri: Menggali Makna Cinta dari Sudut Pandang Psikologi

Dalam cuitan akun tersebut, @fau*** mencoba menyampaikan pesan untuk HR, untuk nggak menilai kandidat hanya berdasarkan sosmed apalagi pada second account dan lebih menghargai Alter-Ego kandidat. Sebelumnya, apa sih Alter-Ego?

Alter-Ego dalam istilah Psikologis, memiliki arti kepribadian atau bisa dikatakan identitas kedua seseorang yang dikembangkan untuk mengatasi konflik dalam diri ataupun konflik dengan lingkungan. 

“Nah, apakah semua manusia memiliki alter-ego? Jawabanya, tidak. Alter ego diciptakan seseorang secara sadar dan sengaja berdasarkan konsep ideal yang diharapkan dalam hidupnya.” ungkap Iswan Saputro, Psikolog dari Tim Medis Klikdokter.

Berdasarkan hal ini, kita tahu bahwa secara tersirat alter-ego merupakan semacam cara tubuh untuk bisa membuat seseorang dapat secara penuh mengekspresikan dirinya, dan menyesuaikan identitasnya pada kondisi yang berbeda.

Baca juga: Mengungkap Sisi Psikologis di Balik Kasus Tabrakan Mahasiswi dan Ibu Rumah Tangga di Pekanbaru

Sehingga dari pernyataan-pernyataan diatas nggak menutup kemungkinan, seseorang membutuhkan tempat untuk dapat berekspresi dan keluar dari zona profesional/keseriusannya. Oleh karena itu, diharapkan sebagai HR bisa lebih menghargai batasan privasi kandidatnya untuk berekspresi.

Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwasanya sosial media juga menjadi branding bagi kandidat dalam proses rekrutmen. Kenapa demikian? Karena sosial media secara tidak langsung menjadi gambaran diri, reputasi, dan personal branding kita di depan orang lain.

Pengurus Siberkreasi Komite Edukasi Mafindo, Heni Mulyati juga menuturkan dalam laman aptika.kominfo.go.id “Dalam dunia kerja, terdapat beberapa parameter yang bisa dipakai melihat calon karyawan melalui media sosialnya. Seperti kalimat yang sering diunggah, foto-foto, interaksi yang dilakukan, serta lingkaran pertemanan calon karyawan,” ujarnya.

Sehingga dari sini jelas bahwa kita harus bisa menjaga jejak digital kita dan mengontrol sosial media kita, agar membentuk personal branding dan parameter yang baik bagi banyak orang yang melihatnya.

Baca juga: Eksploitasi Karyawan dalam Perspektif Psikologi: Dampak Psikologis dan Solusi

“3. Hapus requirement btasan umur. Rjeki org g ada yg tau, lgian malu sm eropa. Inovasi mrk maju krn fokus sm kinerja drpd kt yg stuck di regulasi umur doang” tulisnya di poin ketiga.

Pada poin ketiga ini, yang bersangkutan mencoba ngejelasin adanya batasan umur pada sebuah rekrutmen seharusnya tidak dibutuhkan. Pemikiran Inovatif yang dimiliki seseorang tidak selalu berpatok pada umur seseorang.

Hal tersebut juga dijelaskan dalam jurnal berjudul, "Law Review on Age Discrimination for Job Seekers in Indonesia," yang terbit pada 2017 dalam Journal of LawPolicy and Globalization IISTE. Kemudian Siti Alawiyah, sebagai salah satu penulis dalam jurnal tersebut, dalam kesimpulannya menyampaikan bahwa tidak ada undang-undang yang secara eksplisit dan implisit menyebutkan bahwa batasan usia menjadi dasar diskriminasi bagi pencari kerja.

Siti mencoba mencontohkan salah satu diskriminasi yang terjadi, seperti pada pabrik pengepakan mie instan yang memberikan syarat pada pelamar pekerja maksimal 27 Tahun. Pihaknya menyoroti, sebagai bagian pengemasan, keterampilan yang dibutuhkan adalah memiliki kemampuan berdiri, memiliki tangan yang dapat digerakkan, dan kecepatan dalam mengambil dan memasukkan mie ke dalam kemasan.

Baca juga: Psikolog Bagikan Dampak Psikologis pada Anak Usai jadi Korban Kekerasan

Kemudian Siti menggarisbawahi kecepatan sebagai salah satu keterampilan yang dibutuhkan. Dimana dalam hal ini, seharusnya semua dapat melakukannya selama dirinya sehat dan terbiasa dalam melakukan pekerjaan tersebut, jadi nggak ada hubungannya dengan usia.

Akademisi Hukum Ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Nabiyla Risfa Izzati, mengungkapkan bahwa syarat batasan usia bagi pelamar pekerjaan nggak diperlukan. Namun, hal tersebut dapat dilakukan jika memang dibutuhkan pada pekerjaan tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh usia-usia tertentu.

Nabiyla dalam laman kompas.com menambahkan “Sepertinya karena hal seperti ini dimaklumi dan dianggap wajar di Indonesia sehingga pencantuman batas usia menjadi lazim dilakukan,”. Oleh karena itu, Nabiyla kembali menyebutkan bahwa hal ini perlu pengawasan ketenagakerjaan untuk menegakkan anti-diskriminasi di tempat kerja.

“5. Jgn dengarkan manager-manager penakut yg g suka sm bawahan yg lebih pintar dr dia. Klo kata Steve Jobs, "Kalau mau perusahaan berinovasi, hire lah orang-orang yg lebih pintar dan kreatif drpd kita, dan biarkan mereka bekerja". Dan memang, orang pintar & kreatif itu menyebalkan” Pernyataan @fau*** pada poin kelima.

Baca juga: Apakah Fetish Termasuk Gangguan Psikologis? Begini Kata Psikolog

Pada pernyataan ini, @fau*** mencoba menegaskan untuk tidak takut menerima bawahan yang lebih pintar dari atasannya, walaupun terkadang, orang pintar dan kreatif itu menyebalkan. Mungkin yang sebenarnya terjadi adalah HR tidak menerima karyawan yang dirasa sulit untuk dapat bekerjasama dan menyesuaikan diri dengan budaya perusahaan.

Berdasarkan kebanyakan kasus, karyawan yang lebih pintar namun belum memiliki banyak pengalaman, memiliki pemikiran inovatif dan kreatif. Namun, pengalaman yang belum banyak terkadang menyebabkan karyawan tersebut akan sulit di kontrol dan menyesuaikan dengan budaya perusahaan, dan kemungkinan mampu mengarahkan perusahaan pada kondisi negatif.

Walaupun demikian, menurut Peter Ferdinand Drucker seorang konsultan manajemen, yang sering disebut sebagai Bapak “Manajemen Modern” mengatakan "The most important thing in communication is to hear what isn't said." Yang memiliki arti bahwa Hal terpenting dalam komunikasi adalah mendengar apa yang tidak dikatakan. Dengan kata lain, penting untuk mendengarkan dan memahami perspektif orang lain, tidak terkecuali karyawan yang kritis.

Baca juga: Quality Time dengan Anak ternyata Penting, Pengaruhi Perkembangan Kognitif Maupun Psikologis Anak

Sehingga perlu untuk HR dapat lebih berani terhadap hal-hal tersebut, dan tidak banyak membatasi hal-hal seperti ini dalam rekrutmen, karena tidak menutup kemungkinan hal ini dapat penutup peluang perusahaan untuk berkembang menjadi lebih baik.

Karena nggak bisa dipungkiri, karyawan yang pintar dan kritis mampu berkontribusi banyak bagi perusahaan. Selain itu, sifat kritisnya mampu membuka gebrakan baru bagi perkembangan perusahaan.

“7. Hargai org yg memilih utk pulang teng-go. Itu dilindungi UU pekerja. Otakmu dmn membiarkan manager/atasan t*lol itu nyuruh mreka kerja rodi? Mrk jg pny kehidupan, ada keluarga, kcuali seumur hdup km mau menjamin kehidupan mrk trmasuk nyariin jodoh klo mrk cerai/putus sm pcr ny” ungkap akun @fau*** pada pernyataan poin ketujuh.

Pada pernyataan ini, @fau*** mencoba menjelaskan dalam cuitannya bahwa seorang HR seharusnya mampu menghargai karyawan yang memilih untuk pulang teng-go, yang dimana hal tersebut juga dilindungi oleh UU pekerja. Pertama, apa itu pulang teng-go?

Secara sederhana pulang teng-go dibagi menjadi dua kata, yaitu “teng” dan “go”, yang berarti begitu teng jam pulang kerja, karyawan langsung go alias pulang tepat waktu. Jadi, apakah pulang teng-go adalah hal yang salah?

Baca juga: Ahli Psikologi : Kamu Akan Ucap Kalimat Ini Bila Benar-Benar Bahagia

“Tidak ada yang salah dengan pulang tenggo.” Ucap Head of Human Capital di Daidan Group, Milka Santoso dalam laman LinkedIn-nya.

“Masalahnya bukan tenggo atau gak tenggonya, tapi selesai atau tidak urgent matter nya. Saya tidak setuju dengan pendapat bahwa orang yang suka tenggo tidak loyal pada perusahaan. Kalau pekerjaan sudah selesai kenapa tidak boleh tenggo? Tapi saya juga tidak setuju dengan pendapat harus pulang tenggo untuk mencapai kesehatan mental. Menurut saya bukan itu inti permasalahannya.” ujarnya menambahkan.

Berdasarkan penuturan Milka, kita paham bagaimana pulang teng-go bukanlah inti permasalahannya. Inti permasalahan dari pulang teng-go adalah ketika karyawan pulang tepat waktu saat tanggungjawab dan job desk yang dimiliki belum terselesaikan secara maksimal.

Penting untuk seorang karyawan dan seorang HR mendiskusikan terkait analisis beban kerja yang ada, sehingga seorang karyawan dapat menyelesaikan tanggung jawabnya dalam perkiraan waktu yang sesuai dengan jam kerjanya.

Baca juga: Ini Dampak Psikologis Pernikahan Dini Bagi Perempuan

Dikutip dalam CNNIndonesia.com, Siti Khairunisa, Manager PT Reeracoen Indonesia, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com menyarankan untuk karyawan dapat menerapkan strategi kerja yang lebih baik. Dimana, karyawan tidak seharusnya dan sepenuhnya menganut sistem kerja “Hustle Culture” ataupun “Quit Quiting”. Namun, karyawan sangat mungkin untuk dapat mengkombinasikan hal tersebut.

Pada pengertiannya sendiri, Hustle Castle merupakan pandangan bahwasanya  kesuksesan hanya bisa dicapai melalui kerja tanpa henti dan dedikasi yang ekstrem. Sementara berbeda dengan Quite Quiting yang merupakan kondisi dimana karyawan tidak lagi berusaha keras untuk melebihi ekspektasi atau mengambil inisiatif di luar tanggung jawab mereka sendiri.

"Kalau butuh istirahat, misal bulan ini kerja saja sesuai apa yang ada sambil cari apa yang kita mau, cari yang memotivasi, restart lagi. Kalau hustle terus capek, kalau quiet quitting terus nanti enggak berkembang. Kenapa enggak dikombinasikan?" ucapnya.

“10. Stop cuci otak "Kita seperti keluarga". Biarkan mrk diluar kantor dgn urusannya, begitu jg sebaliknya. Slain itu, keluarga g akan mecat anggotanya. Kecuali kalian mau menghapuskan sistem SP di perusahaan kalian.” ujarnya dalam pernyataanya yang terakhir.

Baca juga: Tren 'Review Saldo ATM' di Sosial Media Berdampak Buruk Secara Psikologis

Pernyataan diatas, mencoba menjelaskan kepada seorang HR untuk berhenti menggunakan kata “Keluarga” sebagai bentuk “Eksploitasi” hingga seorang karyawan tidak memiliki kesempatan untuk menyelesaikan urusannya diluar kantor.

Pada hal ini, memang banyak ditemukan adanya Karyawan yang terikat dengan kata “Keluarga” sehingga mengabaikan urusan-urusan diluar kantor, dan hanya fokus pada urusan kantor. Tidak sedikit juga yang mengorbankan keluarga demi masalah perusahaan.

Sebenarnya penggunaan kata “Keluarga” pada satu sisi memberikan nuansa kehangatan, kebersamaan, dan loyalitas pada perusahaan. Namun, di sisi lain penggunaan kata ini secara berlebihan atau tidak tepat dapat memunculkan berbagai masalah, termasuk eksploitasi terhadap karyawan.

Saera Khan dan Lauren C. Howe yang dikutip dalam postingan yang dibuat oleh Sweatt pensiunan Partner Director, Program Management, Corporate Customer & Partner Experience Microsoft, “55% mengatakan mereka lebih suka perusahaan yang memiliki nuansa kekeluargaan, yang disatukan oleh tradisi dan loyalitas.”

Baca juga: Dampak 'Fatherless' Terhadap Psikologis Anak

Namun walau demikian, pada postingan yang sama, Sweatt menambahkan “Namun, saya telah belajar dari pengalaman bekerja dan menciptakan tim berkinerja tinggi serta pengembangan karyawan di Microsoft selama beberapa dekade terakhir bahwa loyalitas berlebihan yang biasanya hanya diberikan kepada anggota keluarga dekat saya dapat membuat Anda rentan terhadap eksploitasi. Anda mungkin akan bekerja 60 jam seminggu, di akhir pekan, melepaskan diri dari acara keluarga yang sebenarnya hanya untuk sekadar bercengkrama - semua demi kebaikan perusahaan/batasan keluarga yang kabur.”

Pada akhirnya kita bisa memahami, bahwasanya mungkin kata “Keluarga” yang dipertegas pada beberapa batasan, mampu membetuk kedekatan, memabangun suasana menyenangkan di dalam perusahaan, dan sebagai pembakar semangat dalam membangun loyalitas itu adalah hal yang tepat.

Namun, perlu diingat bahwa saat tidak ada pembatas dalam kata “Keluarga” di dalam perusahaan, nggak menutup kemungkinan akan memicu eksploitasi di dalam budaya karyawan di perusahaan tersebut.

Laporan: Andea Muhammad Abhista Andikaputra

Penulis :
Latisha Asharani
Editor :
Latisha Asharani