
Pantau - Partai Buruh mengancam bakal menggelar aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR/MPR pada 20 Juli mendatang.
Mereka menuntut agar DPR dan pemerintah mencabut UU Kesehatan yang baru saja disahkan pada Selasa (11/7/2023).
"Partai Buruh berencana melakukan aksi ribuan buruh ke DPR RI pada tanggal 20 Juli 2023 dengan tuntutan meminta agar UU Kesehatan dicabut," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7/2023).
Said mengatakan penghapusan kewajiban alokasi anggaran alias mandatory spending di bidang kesehatan akan merugikan masyarakat.
Menurutnya, penghapusan mandatory spending akan membuat kualitas fasilitas kesehatan bisa makin memburuk, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Dampaknya, masyarakat akan dirugikan dengan dikurangi anggaran kesehatan sehingga masyarakat akan ada iuran tambahan dan fasilitas kesehatan bisa makin buruk khususnya di wilayah 3T," lanjutnya.
Said menilai, sektor kesehatan hanya akan jadi lahan bisnis dan investasi. Selain itu, perlindungan terhadap tenaga kesehatan bakal terdampak karena organisasi profesi kesehatan kehilangan peranannya dalam UU Kesehatan.
"Sektor kesehatan akan menjadi lahan investasi melalui pelayanan mutu kesehatan. Dampaknya, tenaga medis akan dieksploitasi oleh pemilik modal atau rumah sakit karena tidak ada organisasi profesi yang melindunginya," ujarnya.
Seperti diketahui, DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang dengan metode Omnibus Law. Sejak pembahasan, RUU itu menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan, mandatory spending dihapus karena besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia.
Mereka menuntut agar DPR dan pemerintah mencabut UU Kesehatan yang baru saja disahkan pada Selasa (11/7/2023).
"Partai Buruh berencana melakukan aksi ribuan buruh ke DPR RI pada tanggal 20 Juli 2023 dengan tuntutan meminta agar UU Kesehatan dicabut," kata Presiden Partai Buruh, Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Rabu (12/7/2023).
Said mengatakan penghapusan kewajiban alokasi anggaran alias mandatory spending di bidang kesehatan akan merugikan masyarakat.
Menurutnya, penghapusan mandatory spending akan membuat kualitas fasilitas kesehatan bisa makin memburuk, terutama di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).
"Dampaknya, masyarakat akan dirugikan dengan dikurangi anggaran kesehatan sehingga masyarakat akan ada iuran tambahan dan fasilitas kesehatan bisa makin buruk khususnya di wilayah 3T," lanjutnya.
Said menilai, sektor kesehatan hanya akan jadi lahan bisnis dan investasi. Selain itu, perlindungan terhadap tenaga kesehatan bakal terdampak karena organisasi profesi kesehatan kehilangan peranannya dalam UU Kesehatan.
"Sektor kesehatan akan menjadi lahan investasi melalui pelayanan mutu kesehatan. Dampaknya, tenaga medis akan dieksploitasi oleh pemilik modal atau rumah sakit karena tidak ada organisasi profesi yang melindunginya," ujarnya.
Seperti diketahui, DPR mengesahkan RUU Kesehatan menjadi Undang-Undang dengan metode Omnibus Law. Sejak pembahasan, RUU itu menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin beralasan, mandatory spending dihapus karena besarnya belanja yang dilakukan belum tentu berdampak efektif pada kesehatan penduduk Indonesia.
- Penulis :
- Aditya Andreas