
Pantau - Sosiolog Universitas Bangka Belitung (UBB), Dr. Fitri Ramdhani Harahap M.Si, menegaskan bahwa penyelesaian sengketa administratif Pulau Tujuh antara Provinsi Bangka Belitung (Babel) dan Kepulauan Riau (Kepri) harus melibatkan partisipasi aktif masyarakat lokal.
Fitri menilai perpindahan wilayah administratif yang diputuskan tanpa keterlibatan warga dapat memicu disorientasi identitas dan menimbulkan ketegangan sosial.
“Yang paling terdampak bukan para pejabat, tapi masyarakat pesisir yang hidup dari laut dan telah lama menjaga wilayah tersebut,” ungkapnya.
Penolakan dan Potensi Ketegangan Sosial
Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan Pulau Tujuh sebagai bagian dari Kepulauan Riau mendapat penolakan dari Pemerintah Provinsi Babel. Pemprov Babel berencana membawa sengketa ini ke Mahkamah Konstitusi.
Fitri mengingatkan bahwa persoalan ini bukan semata persoalan batas wilayah administratif, melainkan menyangkut identitas, hak atas pelayanan publik, serta rasa keadilan sosial.
Ia menyebut ketidakjelasan otoritas di kawasan seperti Pulau Tujuh bisa menimbulkan kebingungan administratif bagi warga dan membuka potensi marginalisasi masyarakat pesisir.
“Pemaksaan administratif tanpa pengakuan atas aspek historis dan sosial dapat memicu konflik horizontal serta memperuncing ketegangan antara elite politik dan warga,” ujarnya.
Usulan Dialog Partisipatif dan Pengelolaan Bersama
Fitri mendorong pendekatan hukum yang dilengkapi ruang dialog terbuka dan partisipatif.
Ia menyarankan agar Kemendagri memfasilitasi pertemuan inklusif yang melibatkan pemerintah daerah, tokoh masyarakat, akademisi, dan komunitas lokal guna membahas solusi yang adil dan berkelanjutan.
Ia menekankan bahwa suara masyarakat harus menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan, dengan mempertimbangkan kajian historis, kultural, dan sosial.
Jika tidak ditemukan kesepakatan final, Fitri menawarkan opsi pengelolaan bersama atau co-management antara Babel dan Kepri.
Skema ini memungkinkan kedua provinsi berbagi tanggung jawab atas pelayanan publik, pengelolaan sumber daya, serta perlindungan hak masyarakat di Pulau Tujuh.
“Sengketa wilayah seharusnya tidak mengorbankan keberlanjutan hidup masyarakat yang telah lama menjaga laut dan budaya di perbatasan,” tutupnya.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf