
Pantau – Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan bahwa filosofi hukum acara pidana bukanlah semata-mata memproses tersangka, melainkan melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara.
Dalam diskusi terbuka bersama Haris Azhar di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta (9/8), ia menekankan bahwa RUU KUHAP dirancang netral, menampung hak semua pihak — korban, tersangka, saksi, perempuan, dan penyandang disabilitas — demi mencegah kriminalisasi warga.
Salah satu poin kunci usulan pemerintah adalah memperkuat peran advokat. “Advokat harus diposisikan sederajat dengan polisi dan jaksa,” ujar Eddy. Dalam RUU ini, pendampingan advokat sejak tahap penyelidikan bersifat wajib. Advokat berhak mengajukan keberatan yang harus dicatat dalam berita acara, sehingga proses penyelidikan dapat diawasi publik.
Haris Azhar menyoroti pentingnya judicial scrutiny dan mengkritik KUHAP lama yang dinilai usang, kurang proporsional, serta lemah dalam restorative justice. Ia mengusulkan pengungkapan kebenaran sejak penyelidikan, termasuk alasan perkara dilanjutkan atau dihentikan.
Eddy sepakat, menambahkan bahwa pengungkapan kebenaran penting untuk memberi kepastian hukum dan membatasi restorative justice bagi pelaku residivis. “Harus ada pembatasan, tidak bisa seenaknya,” tegasnya.
RUU KUHAP disusun berlandaskan prinsip due process of law dan masih terbuka untuk perdebatan. DPR akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum, sementara Kemenkumham menginventarisasi seluruh masukan dengan transparan sebagai bentuk meaningful participation.
- Penulis :
- Ahmad Yusuf