
Pantau - Rapat Paripurna ke-4 DPR RI Masa Sidang I Tahun Sidang 2025–2026 resmi menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah untuk disahkan menjadi undang-undang.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan bahwa sejumlah poin krusial telah disepakati dalam pembahasan RUU ini, termasuk pembentukan Kementerian Haji dan Umrah yang akan mengambil alih tugas penyelenggaraan ibadah dari Badan Penyelenggara sebelumnya.
"Perkenankan kami menyampaikan beberapa hal yang telah disepakati dalam pembahasan RUU ini", ungkap Supratman di hadapan anggota dewan.
Kementerian Baru dan Sistem Informasi Terintegrasi
Kesepakatan pertama dalam UU yang baru adalah penguatan kelembagaan penyelenggaraan haji dan umrah, dari badan menjadi kementerian yang secara khusus menangani sub-urusan pemerintahan di bidang tersebut.
Kementerian ini akan menjadi penyelenggara dan penanggung jawab utama pelaksanaan ibadah haji dan umrah, termasuk dalam aspek pembinaan, pelayanan, serta jaminan keselamatan dan kesehatan jamaah.
Kesepakatan kedua dalam RUU ini adalah pembentukan ekosistem haji dan umrah yang mencakup pembentukan satuan kerja, pengelolaan keuangan berbasis badan layanan umum, dan kerja sama dengan berbagai pihak terkait.
Kesepakatan ketiga adalah pengaturan kuota khusus untuk petugas haji yang dipisahkan dari kuota jemaah Indonesia.
UU ini juga mengatur pemanfaatan sisa kuota, penambahan kuota haji tambahan, pengawasan terhadap jemaah haji khusus yang menggunakan visa nonkuota, hingga tanggung jawab pembinaan ibadah dan kesehatan.
"Penggunaan sistem informasi kementerian dalam penyelenggaraan haji dan umrah", juga termasuk poin penting dalam UU baru ini.
Jawaban atas Kebutuhan Hukum dan Tantangan Kebijakan Arab Saudi
Supratman menegaskan bahwa ibadah haji dan umrah merupakan hak warga negara Indonesia pemeluk agama Islam, dan menjadi tanggung jawab negara sesuai dengan UUD 1945.
"Tanggung jawab negara untuk pemenuhan hak menunaikan ibadah haji dan umrah sebagai hak asasi manusia diwujudkan dengan memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan bagi warga negara Indonesia yang menunaikan ibadah haji dan umrah agar dapat dilaksanakan secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat", tegasnya.
Ia menambahkan bahwa revisi UU ini diperlukan karena sejumlah kelemahan masih terjadi dalam pelaksanaan haji dan umrah, di antaranya:
- Pemanfaatan kuota haji dan tambahan kuota yang belum optimal
- Pembinaan jemaah yang belum maksimal, termasuk yang masih dalam daftar tunggu
- Kurangnya perlindungan terhadap jemaah nonkuota atau undangan pribadi
- Belum adanya mekanisme perubahan biaya penyelenggaraan saat terjadi kenaikan
- Belum diaturnya sistem informasi secara terpadu
- Belum adanya pengaturan untuk keberangkatan haji dan umrah mandiri
Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut, Presiden RI menyatakan persetujuannya terhadap pengesahan RUU ini.
"Presiden menyatakan setuju Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah untuk disahkan menjadi undang-undang", tutur Supratman.
Pengesahan kemudian dilakukan secara resmi oleh DPR RI melalui mekanisme forum paripurna.
"Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah apakah dapat disetujui menjadi undang-undang", yang dijawab dengan "setuju" oleh seluruh anggota DPR yang hadir.
- Penulis :
- Aditya Yohan
- Editor :
- Tria Dianti










