Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Wacana Satu Akun per Orang Picu Perdebatan: Antara Akuntabilitas dan Ancaman terhadap Kebebasan Digital

Oleh Aditya Yohan
SHARE   :

Wacana Satu Akun per Orang Picu Perdebatan: Antara Akuntabilitas dan Ancaman terhadap Kebebasan Digital
Foto: (Sumber: Wamenkomdigi Nezar Patria menyampaikan sambutannya dalam acara AI ON DEVICE Seminar Indonesia 2025 bertema Stimulating Industrial Innovations through Edge AI di Jakarta Pusat, Selasa (23/9/2025). ANTARA/HO-Kementerian Komunikasi dan Digital/aa.)

Pantau - Wakil Menteri Komunikasi dan Digital menyatakan pihaknya sedang mengkaji usulan dari Komisi I DPR tentang pembatasan kepemilikan akun media sosial menjadi satu akun per orang.

Antara Akuntabilitas dan Risiko Pengawasan

Usulan ini muncul sebagai respons terhadap keresahan publik atas maraknya hoaks, ujaran kebencian, manipulasi opini, dan penyalahgunaan akun anonim maupun buzzer.

Tujuannya, agar pengguna media sosial lebih bertanggung jawab dengan kewajiban identitas tunggal.

Namun, usulan ini dinilai belum mempertimbangkan kompleksitas persoalan ruang digital.

Pengalaman internasional menunjukkan hasil yang beragam.

Korea Selatan, misalnya, pernah menerapkan aturan nama asli pada 2007, tetapi hanya menurunkan komentar jahat kurang dari 1 persen.

Sebagian pengguna justru pindah ke platform luar negeri.

Mahkamah Konstitusi Korea kemudian membatalkan aturan itu pada 2012 karena dinilai melanggar kebebasan berekspresi dan bersifat tidak proporsional.

Di sisi lain, China menerapkan sistem real-name internet secara terpusat, di mana semua pengguna wajib terhubung dengan identitas resmi.

Sistem ini diklaim meningkatkan kepercayaan publik, namun dikritik karena membuka peluang pengawasan massal.

Penerapan identitas tunggal memang bisa meningkatkan akuntabilitas, tetapi juga berisiko menghilangkan privasi dan memperbesar kendali negara.

Konsep panopticon dari Michel Foucault memperingatkan bahaya masyarakat yang selalu diawasi karena dapat mengekang kebebasan berekspresi.

Sosiolog Zygmunt Bauman menegaskan bahwa manusia hidup dalam "modernitas cair", di mana identitas bersifat fleksibel dan berubah-ubah.

Maka, memaksakan satu identitas tunggal bertentangan dengan realitas sosial digital saat ini.

Dalam dunia digital, seseorang bisa menjalankan berbagai peran sekaligus: profesional, aktivis, atau pribadi, di ruang daring yang berbeda.

Filsuf Hannah Arendt mengingatkan bahwa pluralitas adalah inti dari kebebasan politik, dan anonimitas kadang menjadi pelindung demokrasi.

Sementara Shoshana Zuboff melalui konsep surveillance capitalism menunjukkan bahwa identitas tunggal bisa memperbesar risiko eksploitasi data pribadi oleh korporasi.

Kebijakan Digital Harus Sejalan dengan Perlindungan Data dan Pluralitas

Indonesia sebenarnya sudah memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sejak 2022, namun implementasinya dinilai masih lemah.

Beberapa kasus kebocoran data besar menjadi sorotan, seperti bocornya 279 juta data BPJS Kesehatan, data daftar pemilih tetap Pemilu, dan peretasan platform e-commerce.

Insiden ini tidak hanya merugikan secara materiil, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap negara dan platform digital.

Dalam situasi ini, kebijakan identitas tunggal dikhawatirkan hanya akan memperparah konsentrasi data pribadi dan membuka peluang penyalahgunaan oleh pihak tak bertanggung jawab.

Tanpa perlindungan data yang kuat, kebijakan ini diibaratkan "membangun rumah megah di atas pasir rapuh".

Yang lebih penting justru membangun infrastruktur keamanan digital, mekanisme audit independen, dan sanksi tegas bagi pelanggar data.

Permasalahan utama bukan terletak pada jumlah akun, tetapi pada akuntabilitas.

Seseorang tetap bisa memiliki lebih dari satu akun selama akun tersebut diverifikasi.

Verifikasi bisa dilakukan tanpa mempublikasikan identitas, sehingga privasi tetap terjaga dan hukum tetap bisa ditegakkan jika ada pelanggaran.

Solusi jalan tengah yang ditawarkan adalah sistem verifikasi berlapis.

Akun biasa cukup diverifikasi dengan nomor ponsel.

Sementara akun yang menyebarkan iklan politik, konten berpengaruh, atau mengelola komunitas besar, wajib menggunakan identitas resmi.

Sistem ini membuka ruang ekspresi, namun tetap memungkinkan pertanggungjawaban terhadap penyebar konten berisiko tinggi.

Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri.

Platform digital global seperti Meta, X, dan TikTok juga harus bertanggung jawab menyediakan moderasi konten yang transparan dan ruang banding agar tidak terjadi penyensoran sewenang-wenang.

Literasi digital menjadi pilar utama.

Masyarakat harus dibekali kemampuan membedakan informasi sehat dan manipulatif, melalui program literasi di sekolah, kampus, dan komunitas lokal.

Publik yang kritis adalah benteng terbaik melawan hoaks.

Perlindungan terhadap kelompok rentan seperti aktivis HAM, jurnalis investigatif, minoritas, dan korban kekerasan juga harus menjadi prioritas.

Dalam banyak kasus, anonimitas adalah perlindungan utama mereka.

Jika aturan diberlakukan secara kaku, ruang kritik bisa terhenti.

Kebijakan harus bisa membedakan antara anonimitas yang melindungi dan anonimitas yang digunakan untuk menyerang.

Ruang digital yang sehat tidak bisa dibentuk hanya lewat kontrol, tetapi melalui keseimbangan antara kebebasan dan keamanan.

Negara harus hadir sebagai pelindung, bukan pengawas.

Wacana satu akun per orang mungkin terdengar sederhana, namun membawa risiko besar seperti represi, kebocoran data, dan hilangnya keberanian untuk bersuara.

Seperti diingatkan oleh Bauman, yang dibutuhkan adalah identitas digital yang dipercaya, bukan yang dipaksakan.

Ruang digital adalah cermin demokrasi.

Jika dipenuhi ketakutan, demokrasi kehilangan nyawanya.

Namun jika diisi kepercayaan, kebebasan dan akuntabilitas dapat berjalan beriringan.

Penulis :
Aditya Yohan