
Pantau - Sejumlah dosen dan mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menggugat konstitusionalitas tunjangan pensiun seumur hidup bagi anggota DPR ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Gugatan Terkait Ketimpangan Alokasi APBN
Gugatan ini tercatat dalam Perkara Nomor 191/PUU-XXIII/2025 dan telah disidangkan untuk pertama kali di Gedung MK, Jakarta.
Para pemohon menilai bahwa dana pensiun anggota DPR yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seharusnya dialokasikan untuk sektor yang lebih prioritas, seperti pendidikan dan kesehatan.
"Pengalokasian APBN terhadap dana pensiun seumur hidup lembaga tertinggi atau tinggi negara tidaklah proporsional jika dilihat dari sisi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat umum yang di dalamnya, termasuk para pemohon", ungkap mereka dalam permohonan.
Para pemohon terdiri dari dua dosen Fakultas Hukum UII, Ahmad Sadzali dan Anang Zubaidy, serta lima mahasiswa: M. Farhan Kamase, Alvin Daun, Zidan Patra Yudistira, Rayhan Madani, dan M. Fajar Rizki.
Mereka menguji sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan/Administratif Pimpinan dan Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara serta Bekas Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara.
Pasal-pasal yang digugat meliputi Pasal 12, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 19 ayat (1) dan (2).
Menurut mereka, ketentuan tersebut menciptakan distribusi APBN yang tidak efektif, tidak proporsional, dan hanya menguntungkan segelintir pihak.
"Dengan begitu banyaknya penghasilan yang didapatkan oleh DPR RI selama menjabat, ditambah lagi dengan dana pensiun yang diberikan, sepanjang dimaknai ‘seumur hidup’, menjadikan tidak seimbangnya antara hak individu dan kepentingan yang lebih besar, yaitu kesejahteraan masyarakat", ujar para pemohon.
Sistem Dinilai Tidak Transparan dan Kontradiktif
Para pemohon juga menyoroti ketidakjelasan sistem pensiun yang berlaku saat ini, termasuk keberlanjutan tunjangan pensiun kepada janda atau duda ketika penerima meninggal dunia.
Pasal 16 ayat (1) huruf a menyatakan pembayaran pensiun dihentikan jika penerima meninggal dunia, tetapi Pasal 17 ayat (1) menyebutkan bahwa pembayaran dilanjutkan kepada janda atau duda yang sah.
Hal ini, menurut mereka, menimbulkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum.
Mereka juga membandingkan dengan sistem pensiun di negara lain seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura, yang menggunakan sistem potongan dari gaji pokok selama masa jabatan, bukan pemberian seumur hidup dari anggaran negara.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 12 ayat (1) dan (2) UU 12/1980 inkonstitusional bersyarat, sejauh menyangkut pejabat publik hasil pemilu.
Selain itu, mereka meminta MK menyatakan Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 17 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) huruf a, dan Pasal 19 ayat (1) dan (2) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat apabila frasa "meninggal dunia" dimaknai sebagai "seumur hidup".
Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah mengingatkan agar para pemohon menyelaraskan antara petitum dan posita dalam permohonan mereka.
"Satu sisi Anda tidak suka kalau itu (pensiun) diberikan seumur hidup, tapi di sisi lain di petitum Saudara, pengin memberi tafsir meninggal itu ditafsirkan seumur hidup. Hati-hati ini bisa masuk kategori permohonan yang kabur", ia mengingatkan.
Berdasarkan hukum acara MK, para pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan mereka, dengan batas penyampaian perbaikan berkas pada Senin, 10 November 2025.
Gugatan Serupa Pernah Diajukan
Sebelum ini, gugatan serupa juga diajukan oleh psikolog Lita Linggayani Gading dan advokat sekaligus mahasiswa Syamsul Jahidin dalam Perkara Nomor 176/PUU-XXIII/2025.
Mereka menggugat Pasal 1 huruf a, Pasal 1 huruf f, dan Pasal 12 ayat (1) UU 12/1980 karena dianggap menimbulkan ketimpangan hukum.
Dalam permohonannya, mereka menilai ketentuan tersebut tidak adil karena memungkinkan anggota DPR yang hanya menjabat selama lima tahun menerima pensiun seumur hidup, bahkan dapat diwariskan.
Mereka juga meminta MK untuk mencabut ketentuan hak pensiun seumur hidup dalam UU tersebut.
- Penulis :
- Leon Weldrick









