
Pantau.com - Konflik lahan antara aparat pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan masyarakat adat Pubabu, Besipae diangkat oleh media asing Al Jazeera. Dalam beritanya, tindakan represif aparat terhadap masyakarat adat disorot.
Dilansir Al Jazeera, Kamis (1/10/2020), dalam artikel yang berjudul "Indigenous People Sceptical of Indonesia Mapping Project", diceritakan nceritakan bagaimana masyarakat adat diusir dari tanahnya sendiri. Setiap harinya masyarakat adat Besipae selalu melihat kembali rumah mereka yang telah menjadi tumpukan puing-puing.
"Ini semua yang tersisa dari rumah saya," kata penduduk, Domanstefa, saat ia memilah tumpukan batu itu. "Pemerintah daerah merobohkannya. Saya tidak punya rumah lagi. Sekarang, saya tinggal di bawah pohon."
Baca juga: Akhir Konflik Tanah Adat di Pubabu TTS, Lahan Jadi Hak Milik Warga
Pada Agustus silam, pemerintah daerah menggusur Domanstefa dan seluruh komunitas yang terdiri dari 50 keluarga. Banyak dari mereka mengatakan bahwa mereka mengalami trauma akibat penggusuran paksa tersebut. "Mereka datang membawa senjata, mengancam kami dan menembak ke arah tanah. Anak-anak ketakutan dan menangis," kata Daud Selan, seorang petani berusia 41 tahun.
Dua bulan usai pemerintah meluluhlantahkan rumah mereka, komunitas itu menjadi tunawisma dan tidur dalam tenda darurat yang didirikan hanya beberapa meter dari rumah mereka yang dihancurkan. Mereka tinggal di sebuah tenda sederhana dan hanya memiliki sedikit harta benda.
Seorang ibu mengakui bahwa dia tidak bisa menghentikan anaknya yang masih kecil yang terus menangis. “Anak saya terus bertanya, di mana rumah kita? Saya mengatakan mereka menghancurkannya. Kami tidak punya rumah lagi,” kata Jita Leo.
Seorang ibu bersumpah dengan memakan tanah sebagai bentuk penolakan terhadap penggusuran rumah mereka di Pubabu. (Foto: Antara/HO-Istimewa)
Masyarakat Adat Besipae hidup dari tanah tersebut. Sebelum digusur, mereka menanam jagung dan asam jawa serta menyimpan hasil panennya di loteng. Persediaan makanan mereka juga dihancurkan bersama dengan rumah mereka.
Mereka yang berbicara mengatakan bahwa pemerintah setempat tidak memberikan informasi bahwa rumah mereka akan dihancurkan. "Mereka menawarkan kami untuk relokasi, tetapi rumah kami dihancurkan lebih dahulu sebelum rumah pengganti siap kami gunakan," kata Selan.
Seorang perwakilan pemerintah daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur membenarkan bahwa mereka telah menggunakan gas air mata untuk mengusir masyarakat adat di wilayah itu. “Suara gas air mata membuat mereka bangun dan pergi. Itu bukan kekerasan, gas air mata tidak membahayakan mereka,” kata perwakilan Pemerintah Provinsi Nusa Tengara Timur Sony Libing.
Baca juga: Bupati Timor Tengah Selatan Minta Maaf Atas Gejolak Konflik di Pubabu
“Lahan tersebut merupakan aset Pemprov dengan potensi yang sangat besar. Kami harus merelokasi orang yang tinggal di sana untuk mengembangkan pertanian dan peternakan sapi."
Kepemilikan tanah di wilayah itu telah menjadi sengketa selama beberapa dekade. Pada 1980-an, wilayah itu menjadi peternakan sapi yang merupakan bagian dari proyek dengan pemerintah Australia. Menurut masyarakat adat Besipae, sesepuh desa telah menyewakan tanah tersebut dengan syarat bahwa tanah itu masih milik masyarakat. Namun, pemerintah daerah mengatakan, masyarakat telah melepaskan hak atas tanah tersebut.
“Kemiskinan di kabupaten itu tinggi dan tanahnya memiliki potensi, itulah mengapa kami memilihnya. Itu sudah menjadi aset pemerintah,” kata Libing. “Sertifikat tanah adalah dokumen negara. Kami telah memberi tahu mereka, bawa kami ke pengadilan. Biarkan pengadilan memutuskan siapa pemilik yang sah. "
- Penulis :
- Noor Pratiwi