Pantau Flash
HOME  ⁄  News

Produk Legislasi 'Kejar Tayang' Jelang Akhir Masa Jabatan, Kinerja DPR Dikecam

Oleh Aditya Andreas
SHARE   :

Produk Legislasi 'Kejar Tayang' Jelang Akhir Masa Jabatan, Kinerja DPR Dikecam
Foto: Gedung DPR RI. (foto: Aditya Andreas/pantau.com)

Pantau - Menjelang akhir masa jabatannya, DPR tengah membahas sejumlah RUU penting, seperti RUU MK, RUU TNI, RUU Polri, RUU Dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan RUU Kementerian Negara. 

Fenomena ‘kejar tayang’ legislasi ini menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN).

Guru Besar HTN Universitas Jambi, Elita Rahmi, mengkritik keras praktik kejar tayang legislasi di DPR RI hingga kini. 

Ia menegaskan, hal tersebut harus dihentikan karena sesuatu yang dilakukan tergesa-gesa biasanya tidak menghasilkan hasil yang baik. 

"Kejar tayang legislasi harus kita setop. Padahal, sarana dan prasarana yang dimiliki DPR sangat lengkap, tetapi legislasi kerap bermasalah karena ada komponen yang tidak digunakan dengan baik," ujar Elita dalam acara webinar, Senin (15/7/2024).

Elita mengidentifikasi dua faktor penyebab fenomena kejar tayang legislasi, yaitu faktor internal dan eksternal. 

Faktor internal meliputi agenda politik tahun 2024, rendahnya ketaatan waktu pembahasan UU di DPR, serta konflik kepentingan antara partai politik dan pemerintahan. 

"Sedangkan faktor eksternal memerlukan keselarasan kerja antara DPR, pemerintah, DPD, dan masyarakat," tegas Elita.

Dalam webinar yang sama, Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Lampung, Rudy menyoroti stagnasi realisasi Prolegnas selama 20 tahun terakhir. 

"Realisasi Prolegnas hanya mencapai 30-40 persen dari target. Seperti Prolegnas Prioritas tahun 2014 yang sebanyak 69, hanya mampu direalisasi 21 UU. Artinya, ini bukan kejar tayang, tapi agenda rutin yang dilakukan oleh DPR," cetus Rudi.

Rudi menyatakan, fenomena kejar tayang muncul karena tidak ada pola dalam penetapan Prolegnas prioritas tahunan. 

Selain itu, kompetisi antar kementerian untuk menggolkan UU yang terkait dengan kementerian, termasuk DPR dan DPD, turut berkontribusi. 

Ia juga menyebut, longgarnya pembentukan UU dan adanya perubahan UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang membolehkan RUU luncuran (carry over) sebagai faktor penyebab lainnya.

Sementara itu, pengajar HTN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, Ferdian Andi mengungkapkan, legislasi kejar tayang tidak selalu terjadi di akhir masa jabatan DPR, tetapi juga di tengah masa jabatan. 

"Seperti UU MK pada tahun 2020 yang dibahas hanya dalam 7 hari, UU KPK pada tahun 2019 dalam 13 hari, dan UU IKN pada tahun 2021 dalam 43 hari," ujar Ferdian.

Ferdian mengakui, adanya tren peningkatan pengesahan UU di tahun terakhir masa jabatan DPR dan Presiden. 

Ia menguraikan, pada tahun 1999, 55 UU dari total 67 UU DPR periode 1998-1999 disahkan, tahun 2004 sebanyak 39 UU dari total 159 UU DPR periode 1999-2004.

Selanjutnya, tahun 2009 sebanyak 52 UU dari total 167 UU DPR periode 2004-2009, tahun 2014 sebanyak 42 UU dari total 125 UU DPR periode 2009-2014.

Kemudian, tahun 2019 sebanyak 24 UU dari total 84 UU DPR periode 2014-2019, dan tahun 2024 saat ini sebanyak 31 UU per pertengahan Juli. 

Namun, Ferdian juga menyoroti bahwa kejar tayang legislasi memiliki sisi positif dan negatif. Menurutnya, tidak selalu produk legislasi kejar tayang menghasilkan UU yang buruk. 

"Karena itu perlu dikelola dengan baik, salah satunya dengan mempertimbangkan prosedur Fast Track Legislation yang memasukkan kualifikasi yang ketat tanpa mengabaikan prinsip dasar negara hukum," pungkasnya.

Penulis :
Aditya Andreas