
Pantau - Peneliti Formappi, Yohanes Taryono mengkritik keengganan DPR RI dalam membahas beberapa RUU yang dianggap penting, mengindikasikan bahwa DPR tidak pro rakyat.
Beberapa RUU yang dimaksud Taryono antara lain RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), RUU Masyarakat Hukum Adat, dan RUU Perampasan Aset.
"DPR cenderung sangat cepat merespons atau mengakomodasi RUU yang diusulkan oleh pemerintah, seperti UU Ibu Kota Negara (IKN) dan UU Cipta Kerja Omnibus Law," ujar Taryono, Rabu (7/8/2024).
Taryono mencatat, DPR tidak memerlukan waktu lama untuk merampungkan undang-undang yang diusulkan pemerintah.
Sebaliknya, keengganan DPR dalam membahas RUU Perampasan Aset, yang semangat awalnya adalah pemberantasan korupsi, menunjukkan ketidaknyamanan DPR dalam mengatur dirinya sendiri.
"Jika mengatur tentang pemberantasan aset, tentu ujung-ujungnya akan mengatur dirinya sendiri. Jadi DPR merasa risih, dan di saat yang bersamaan semangat pemberantasan korupsi itu belum muncul di DPR," tambahnya.
Taryono mendorong agar DPR RI lebih selektif dalam menentukan jumlah RUU yang masuk dalam Prolegnas Prioritas.
Menurutnya, hal ini diperlukan merujuk pada kapasitas DPR dalam menyelesaikan RUU di tahun-tahun sebelumnya.
"Karena selama ini DPR selalu tidak menyelesaikan target RUU Prolegnas menjadi undang-undang," imbuhnya.
Beberapa RUU yang mandek, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dan RUU Masyarakat Adat, sudah lama dinantikan.
RUU Masyarakat Adat telah disusun sejak 2003 dan baru masuk dalam Prolegnas RUU Perubahan Prioritas pada 2022, namun hingga saat ini belum disahkan.
"DPR harus menunjukkan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat dengan segera membahas dan mengesahkan RUU yang penting bagi masyarakat luas," tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas