
Pantau - Laporan Speedtest Global Index yang dirilis Ookla pada Desember 2024 menunjukkan bahwa kecepatan internet di Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun, apakah peningkatan kecepatan hingga 100 Mbps benar-benar menjadi kebutuhan utama masyarakat?
Pakar telekomunikasi dari ITB, Agung Harsoyo, menilai bahwa membandingkan kecepatan internet antarnegara memang sah-sah saja dilakukan oleh berbagai lembaga. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa kecepatan internet di Indonesia saat ini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum.
Sebagai gambaran, kecepatan internet mobile Indonesia menurut Ookla berada di angka 28,80 Mbps, sementara fixed broadband menyentuh 32,07 Mbps. Agung mencontohkan bahwa layanan transportasi online, pembelajaran daring, hingga streaming video sudah bisa berjalan dengan baik menggunakan kecepatan internet yang tersedia saat ini.
"Bahkan untuk menonton video streaming seperti YouTube sudah dapat dilakukan. Kecepatan internet 1 Mbps pun sebenarnya sudah cukup untuk berbagai kegiatan dasar. Jadi, kecepatan internet yang ditawarkan operator seluler maupun fixed broadband saat ini sebetulnya sudah lebih dari cukup," ujar Agung dalam pernyataan tertulisnya, Jumat (14/2/2025).
Baca Juga:
Komisi I DPR Usulkan Pelarangan Gawai dan Akses Internet bagi Anak Secara Tegas
Menurutnya, kecepatan internet yang berlebihan justru bisa menjadi mubazir. Tantangan utama yang harus diatasi bukan hanya meningkatkan kecepatan, tetapi bagaimana memastikan akses internet merata ke seluruh wilayah, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) yang hingga kini masih minim akses.
"Jangan sampai internet yang super cepat justru hanya menguntungkan vendor perangkat telekomunikasi dan penyedia layanan digital global (OTT). Selama ini, mereka yang paling diuntungkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang besar dan koneksi yang cepat," tambahnya.
Tantangan Teknis dan Non-Teknis Internet Indonesia
Kecepatan internet di suatu negara dipengaruhi oleh banyak faktor, baik teknis maupun non-teknis. Faktor teknis meliputi biaya regulasi yang tinggi dan sulitnya membangun jaringan internet di Indonesia, termasuk belum tersedianya infrastruktur ducting bersama untuk listrik, air, dan internet seperti yang diterapkan di Singapura.
Sedangkan dari sisi non-teknis, daya beli masyarakat Indonesia masih rendah. Banyak masyarakat yang lebih memprioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan pokok dibandingkan layanan internet. Selain itu, pungutan resmi maupun tidak resmi yang dikenakan kepada penyedia layanan internet juga menjadi kendala utama.
"Saat ini, kemampuan masyarakat untuk membeli layanan internet masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain. Kombinasi tantangan teknis dan non-teknis ini yang menyebabkan kecepatan internet di Indonesia masih tertinggal," jelas Agung.
Untuk meningkatkan kualitas layanan internet dengan harga yang lebih terjangkau, ia meminta agar Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) segera mengeluarkan kebijakan yang dapat mengurangi beban regulasi bagi operator telekomunikasi. Saat ini, regulasi yang ada dinilai masih membebani industri dan menghambat pertumbuhan sektor telekomunikasi.
"Komdigi harus mengubah cara pandang terhadap sektor telekomunikasi, bukan hanya sebagai sumber pendapatan negara lewat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi sebagai sektor yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Jika akses internet merata dan berkualitas, maka dampaknya akan positif bagi ekonomi secara keseluruhan," tutupnya.
- Penulis :
- Ahmad Ryansyah