
Pantau - Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri kembali mengirimkan berkas perkara dugaan pemalsuan sertifikat tanah di wilayah Pagar Laut, Desa Kohod, Tangerang, ke Kejaksaan Agung (Kejagung) setelah sebelumnya sempat dikembalikan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum).
Penyidik menegaskan bahwa unsur tindak pidana pemalsuan sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP telah terpenuhi baik secara formal maupun materiel.
Pernyataan ini disampaikan sebagai respons atas arahan Kejagung agar perkara ditindaklanjuti ke ranah korupsi.
Belum Ditemukan Kerugian Negara
Penyidik telah berdiskusi dengan beberapa ahli termasuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), namun belum ditemukan adanya kerugian negara.
"Mereka (BPK) belum bisa menjelaskan adanya kerugian negara", ujar penyidik.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU 14-2016 tertanggal 25 Januari 2017, penyidik menekankan bahwa suatu perkara dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi apabila terdapat kerugian nyata terhadap keuangan negara yang dibuktikan oleh BPK atau BPKP.
Karena itu, Dittipidum belum dapat melanjutkan penyidikan ke ranah korupsi sebagaimana arahan Kejagung.
Namun demikian, dugaan korupsi tetap diselidiki oleh Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor) Polri, sementara aspek kejahatan terhadap kekayaan negara, termasuk pemagaran wilayah laut, sedang ditangani Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dittipidter) Bareskrim Polri.
"Sudah turun sprindiknya. Ini yang sekarang berlangsung", jelas penyidik.
Penanganan Terpisah Pidana Umum dan Korupsi
Penyidik menilai perkara ini lebih kuat sebagai dugaan pemalsuan dokumen dan tidak termasuk dalam tindak pidana korupsi karena tidak menyebabkan kerugian pada keuangan maupun perekonomian negara.
Kerugian yang ditemukan hanya bersifat kerugian bagi nelayan akibat pemagaran.
“Melihat posisi kasus, fakta yang dominan adalah pemalsuan dokumen di mana tidak menyebabkan kerugian negara terhadap keuangan negara ataupun perekonomian negara sehingga penyidik berkeyakinan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi,” tegas penyidik.
SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan) tetap dibedakan antara pidana umum dan pidana korupsi karena perbuatan pelaku berbeda.
“Perbuatannya, ‘kan, berbeda, antara menerima sama memalsukan. Tidak ada perubahan SPDP karena SPDP-nya sendiri,” imbuhnya.
Dugaan Gratifikasi dan Penyalahgunaan Wewenang
Bareskrim Polri menangani dugaan pemalsuan surat, akta autentik, serta pencantuman keterangan palsu dalam akta autentik terkait penerbitan 263 Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan 17 Sertifikat Hak Milik (SHM) di Desa Kohod, Kabupaten Tangerang, Banten.
Pada 25 Maret 2025, Jampidum Kejagung mengembalikan berkas atas nama tersangka Kepala Desa Kohod Arsin, Sekretaris Desa UK, serta dua penerima kuasa, SP dan CE, dengan arahan agar kasus ini diarahkan ke penyidikan korupsi.
Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar menyatakan bahwa ada indikasi kuat penerbitan SHM, SHGB, dan izin PKKPR darat dilakukan secara melawan hukum.
“Dugaan tersebut meliputi pemalsuan dokumen, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik, serta adanya indikasi penerimaan gratifikasi atau suap oleh para tersangka, termasuk Kepala Desa dan Sekretaris Desa Kohod,” jelas Harli.
Jaksa juga menemukan potensi kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat penguasaan wilayah laut secara ilegal.
“Hal ini termasuk penerbitan izin dan sertifikat tanpa izin reklamasi maupun izin PKKPR laut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku,” tambahnya.
- Penulis :
- Pantau Community










