
Pantau - Pasukan Israel berhasil membunuh pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, dalam pertempuran mendadak di Rafah pada Rabu (16/10/2024). Kabar ini menimbulkan harapan di kalangan komentator Barat bahwa kematian Sinwar bisa menjadi titik awal untuk mengakhiri perang yang berlangsung di Gaza, atau bahkan konflik yang lebih luas antara Israel dan Palestina.
Namun, para analis yang diwawancarai oleh Al Jazeera berpendapat bahwa Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu kemungkinan akan mencari alasan lain untuk mempertahankan perang demi keuntungan pribadi dan melanjutkan ambisi ekspansionis Israel untuk mengusir warga Palestina serta mempertahankan pendudukan tak terbatas atas tanah mereka.
Ketakutan Netanyahu
Netanyahu telah lama khawatir kehilangan kekuasaan karena potensi ia harus menjalani hukuman penjara selama bertahun-tahun. Pada 2019, dia dihadapkan pada tiga kasus terpisah: penipuan, suap, dan pelanggaran kepercayaan. Jika terbukti bersalah, Netanyahu terancam hukuman penjara hingga 10 tahun.
Menurut tuduhan, Netanyahu menawarkan berbagai fasilitas dan hadiah kepada raja media sebagai imbalan untuk liputan positif. Setahun kemudian, Netanyahu terpilih kembali sebagai PM Israel untuk periode kelima.
Baca juga: Dua Tentara Israel Tewas di Gaza Utara, Konflik Kian Membara
Koalisinya yang berhaluan kanan segera mengajukan undang-undang yang akan melemahkan sistem peradilan negara dengan memberi kekuasaan kepada pemerintah untuk menunjuk hakim, membatasi pengawasan pengadilan, dan bahkan mengesampingkan putusan pengadilan.
Sementara itu, jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Karim Khan, telah meminta surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan Menteri Pertahanannya (Menhan) Yoav Gallant, atas kekejaman yang mereka lakukan di Gaza.
“[Netanyahu] akan mencari alasan lain, atau mencari orang lain untuk terus diburu. Itu hanya akan menambah ketidakamanan, yang memang ia inginkan,” kata seorang analis konflik Israel-Palestina, Diana Buttu.
Konflik Abadi
Pada Oktober 2023, Israel meluncurkan perang di Gaza, mengakibatkan lebih dari 42.000 orang tewas dan hampir seluruh populasi 2,3 juta orang terpaksa mengungsi. Kematian Sinwar—yang dianggap sebagai “musuh nomor satu” Israel—tak mungkin menghentikan kekerasan.
“Saya tidak percaya kematian Sinwar mengubah perhitungan Israel terkait keinginan Netanyahu untuk melanjutkan penghancuran dan pemindahan penduduk Gaza,” ungkap peneliti di Dewan Urusan Global Timur Tengah, Omar Rahman.
Perang Israel melawan warga sipil Gaza dimulai sebagai respons terhadap serangan yang dipimpin Hamas di selatan Israel pada 7 Oktober 2023, yang mengakibatkan 1.139 orang tewas dan sekitar 250 orang diculik.
Baca juga: Israel Sebarkan Selebaran di Gaza Tampilkan Jasad Yahya Sinwar dan Pesan Evakuasi
Gaza sudah lama menderita akibat pengepungan yang diberlakukan Israel sejak 2007, dengan kondisi kehidupan yang terus memburuk hingga disebut sebagai “penjara terbuka terbesar di dunia”.
Israel mengakhiri pendudukan fisiknya di Gaza pada 2005, dengan menarik pasukan militernya dan mengosongkan pemukiman ilegal. Namun, langkah ini tak berkaitan dengan pengakuan atas wilayah Palestina.
Nihil Pelajaran yang Dipetik
Dalam sejarahnya, Israel telah membunuh banyak pemimpin Palestina dan akan terus melakukannya. “Hamas telah menjadi lebih kuat daripada sebelumnya,” ungkap Buttu.
Rahman menambahkan bahwa meskipun Hamas mengalami kerugian, perlawanan Palestina akan terus ada dalam berbagai bentuk.
“Ketidakadilan yang mendasar bagi rakyat Palestina tidak diatasi, sehingga perlawanan terhadap pengusiran Israel akan berlanjut,” ujar Rahman.
Baca juga: Yahya Sinwar Tewas, AS Kembali Dorong Proposal Gencatan Senjata
“Sederhana saja. Itulah persamaan dasarnya," sambungnya.
Kematian Sinwar tampaknya tidak akan memuaskan tuntutan publik kanan yang semakin menginginkan lebih banyak pembunuhan dan perang.
Komentator politik Israel, Oren Ziv, mencatat bahwa insiden ini hanya memberi dorongan sementara, dan pemerintah serta masyarakat yang berhaluan kanan terus mendukung seruan Netanyahu untuk mencapai “kemenangan total” di Gaza. (Al Jazeera)
- Penulis :
- Khalied Malvino