Pantau Flash
HOME  ⁄  Nasional

Di Balik Tren YouTuber Cilik: Keterampilan Teknis Tak Cukup tanpa Literasi Digital yang Kuat

Oleh Ahmad Yusuf
SHARE   :

Di Balik Tren YouTuber Cilik: Keterampilan Teknis Tak Cukup tanpa Literasi Digital yang Kuat
Foto: (Sumber: Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid (kanan) menyampaikan materi saat menghadiri kegiatan literasi digital untuk perempuan, anak dan komunitas di Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (16/6/2025). ANTARA FOTO/Arnas Padda/nz.)

Pantau - Awal pekan ini, anak-anak kembali ke sekolah setelah menjalani libur panjang. Banyak orang tua antusias membagikan cerita tentang kegiatan liburan, termasuk tren baru mengikuti pelatihan menjadi YouTuber cilik, content creator, vlogger, atau editor video.

Peserta pelatihan kini semakin muda, bahkan mulai dari usia 8 hingga 9 tahun, tergolong masih anak-anak. Program pelatihan ini ditawarkan dalam durasi dua hari hingga satu minggu, baik secara daring maupun luring, dengan biaya yang bervariasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah.

Pelatihan seperti ini memang terlihat keren dan relevan dengan perkembangan zaman, bahkan dianggap menjanjikan. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah keterampilan teknis saja cukup untuk membekali anak-anak menghadapi dunia digital?

Antara Keterampilan dan Literasi Digital: Celah yang Perlu Dijembatani

Di balik kamera dan layar, dunia digital menyimpan berbagai potensi risiko yang tidak selalu dikenali oleh anak-anak maupun orang tuanya.

Beberapa pertanyaan kritis perlu diajukan terhadap isi pelatihan yang kini marak ditawarkan:

Apakah pelatihan tersebut disertai dengan pemahaman menyeluruh tentang dunia digital?

Apakah anak-anak diajak mengenali bahaya di balik layar, seperti perundungan digital, privasi data, dan ketergantungan?

Apakah mereka diajarkan membedakan antara informasi, disinformasi, dan misinformasi?

Apakah aspek literasi media dimasukkan dalam pelatihan, atau justru diabaikan sama sekali?

Perlu disadari bahwa keterampilan digital seperti merekam, mengedit, dan mengunggah video tidak sama dengan literasi digital. Keterampilan hanyalah permukaan; literasi digital menyangkut cara berpikir, bersikap, dan beretika di dunia maya.

Evolusi Konsep Literasi dari Membaca-Tulis ke Simbol dan Gambar

Pada awalnya, literasi diartikan sebagai kemampuan dasar membaca dan menulis, termasuk kemampuan membuat tanda tangan. Namun, sejak tahun 1970-an, pengertian literasi berkembang menjadi lebih fungsional: kemampuan membaca dan menulis yang digunakan untuk memberdayakan diri dalam kehidupan sosial.

Masuk era 1980-an, muncul pemikiran determinisme teknologi yang memperluas makna literasi. Tidak hanya huruf dan kata, tetapi juga simbol, gambar, hingga video menjadi bagian dari teks yang perlu diinterpretasikan.

Era ini dikenal sebagai new literacy studies, di mana literasi dipahami sebagai kecakapan dalam mengakses, memahami, dan mengolah berbagai bentuk teks sebagai dampak kemajuan teknologi.

Pada 1990-an, literasi juga mulai dikaitkan dengan daya saing suatu negara, termasuk Indonesia. Literasi menjadi indikator penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia dan tenaga kerja yang produktif.

Di tengah gelombang digital saat ini, kemampuan berliterasi secara digital bukan lagi pilihan, melainkan keharusan—terutama bagi anak-anak yang sudah mulai berkarya sejak usia dini.

Penulis :
Ahmad Yusuf