
Pantau - Keputusan DPR RI mengebut pembahasan Revisi Undang-Undang (RUU) tentang Desa dicurigai sebagai sinyal transaksi politik menjelang Pemilu 2024.
Eks Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan menilai, revisi UU Desa lebih fokus kepada penguatan kekuasaan Kepala Desa (Kades) ketimbang kesejahteraan rakyatnya.
Misalnya, dalam RUU itu diatur soal penambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lewat UU tersebut, diatur pula penghasilan dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun. Bahkan, UU tersebut mengusulkan untuk menambah besaran dana desa menjadi Rp2 miliar.
“Jadi, ini adalah betul-betul Undang-Undang yang saya bilang untuk Kepala Desa, bukan untuk rakyat desa,” ujar Djohan, Kamis (6/7/2023).
Djohan berpendapat, anggota DPR RI sebagai pembuat UU seperti bertransaksi untuk menukar pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk memperluas kekuasaan Kades, demi kepentingan Pemilu 2024.
Ia mengungkapkan, para Kades umumnya punya kekuatan yang besar di wilayahnya. Kades mampu memengaruhi pilihan politik warga desa.
“Kami (anggota DPR) sudah kasih nih anda (Kades) masa jabatan, kasih kekuasaan, kasih macam-macam dana, dan juga untuk tambahan penghasilan anda, tapi tolong kami dibantu dengan suara (saat pemilu),” ucapnya.
Djohan menyebut, transaksi politik dalam RUU Desa telah terlihat jelas sejak awal. Hal ini tercermin dari adanya demonstrasi besar-besaran oleh para Kades untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Ia mengaku khawatir, transaksi politik lewat revisi UU Desa ini akan mengganggu jalannya pemilu karena kegaduhan yang ditimbulkan.
“Bisa jadi nanti di video-video Pak Kades mengarahkan warga untuk memilih partai tertentu, caleg tertentu, pasangan capres tertentu. Itu kan mengurangi kualitas demokrasi kita,” tutupnya.
Eks Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri, Djohermansyah Djohan menilai, revisi UU Desa lebih fokus kepada penguatan kekuasaan Kepala Desa (Kades) ketimbang kesejahteraan rakyatnya.
Misalnya, dalam RUU itu diatur soal penambahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi 9 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lewat UU tersebut, diatur pula penghasilan dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun. Bahkan, UU tersebut mengusulkan untuk menambah besaran dana desa menjadi Rp2 miliar.
“Jadi, ini adalah betul-betul Undang-Undang yang saya bilang untuk Kepala Desa, bukan untuk rakyat desa,” ujar Djohan, Kamis (6/7/2023).
Djohan berpendapat, anggota DPR RI sebagai pembuat UU seperti bertransaksi untuk menukar pasal-pasal yang sengaja dibuat untuk memperluas kekuasaan Kades, demi kepentingan Pemilu 2024.
Ia mengungkapkan, para Kades umumnya punya kekuatan yang besar di wilayahnya. Kades mampu memengaruhi pilihan politik warga desa.
“Kami (anggota DPR) sudah kasih nih anda (Kades) masa jabatan, kasih kekuasaan, kasih macam-macam dana, dan juga untuk tambahan penghasilan anda, tapi tolong kami dibantu dengan suara (saat pemilu),” ucapnya.
Djohan menyebut, transaksi politik dalam RUU Desa telah terlihat jelas sejak awal. Hal ini tercermin dari adanya demonstrasi besar-besaran oleh para Kades untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Ia mengaku khawatir, transaksi politik lewat revisi UU Desa ini akan mengganggu jalannya pemilu karena kegaduhan yang ditimbulkan.
“Bisa jadi nanti di video-video Pak Kades mengarahkan warga untuk memilih partai tertentu, caleg tertentu, pasangan capres tertentu. Itu kan mengurangi kualitas demokrasi kita,” tutupnya.
- Penulis :
- Aditya Andreas