
Pantau – Ribuan investor ritel ditengarai terperangkap dalam pelemahan tajam saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) tahun lalu. Tiga hal ini diklaim menjadi pemicunya. Apa saja?
Peningkatan kepemilikan saham BBRI terbilang signifikan. Per November 2024, sebanyak 615.016 investor tercatat sebagai pemilik saham bank pelat merah tersebut. Angka itu naik 85 persen dibandingkan posisi Desember 2023.
Data lainnya menunjukkan sekitar 10 persen dari seluruh investor saham di Indonesia, yakni sekitar 6 juta single investor identification (SID) punya kepemilikan di saham BBRI.
Di antara ribuan pemilik saham BBRI adalah mereka yang terdefinisikan sebagai investor ritel. Tak tanggung-tanggung, aksi beli yang terus dilakukan oleh investor kategori ini telah melampaui 5 bank besar lainnya. BBRI pun menjadi saham favorit di antara 900 lebih saham yang tercatat di Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Baca juga: Bikin Sedih di 2024, Ini ‘Opportunity Cost’ Pegang Saham BBRI di 2025
“Kami berpendapat ada beberapa alasan mengapa investor ritel membeli saham (BBRI),” tulis Tim Riset Algo, sebagaimana dilansir Algoresearch dikutip Jumat (3/1/2025).
1. Semakin Rendah Harga, Semakin Murah
Pertama, investor ritel cenderung memiliki mentalitas, semakin rendah harga saham, semakin murah, sehingga potensi keuntungan bakal lebih tinggi, jika ada nantinya.
Hal ini terlihat pada bulan April ketika harga saham BBRI turun sebesar 18 persen, yang menyebabkan peningkatan kepemilikan yang agresif dari 349.827 pada bulan sebelumnya menjadi 447.812 investor.
Lalu, harga saham turun lebih lanjut sebesar 12 persen pada Mei 2024 dan kepemilikan investor tumbuh menjadi 517.854.
Baca juga: Ini Kisah Sedih 615 Ribu Investor Pemegang Saham BBRI di 2024
Pembelian saham BBRI terjadi lagi pada Juni sehingga harga sahamnya mencapai titik terendah saat itu. Mengakhiri bulan tersebut, jumlah bertambah jadi 545.545 investor.
Kepemilikan memang tetap mendatar pada periode Agustus-September, tetapi mulai melonjak pada kuartal IV-2024. Itu lantaran investor telah mengantisipasi ‘window dressing’ akhir tahun, yang sayangnya tidak terjadi.
2. Terbujuk Dividen Tinggi
Kedua, investor ritel mudah terbujuk dengan dividen yang lebih tinggi. Seperti halnya bujukan BBRI yang rasio pembayaran dividennya ditingkatkan menjadi 80-85 persen. Frekuensi pembagian dividennya mencakup baik dividen interim maupun dividen final.
Kondisi harga saham yang turun dan imbal hasil dividen meningkat, menciptakan kesan menarik (atraktif) yang keliru di kalangan investor. Inilah yang menjelaskan mengapa mereka terus melakukan pembelian saham BBRI.
Baca juga: Berisi Saham BBCA hingga BBRI, Analis Rekomendasikan Beli Reksa Dana Ini
Padahal, dengan total imbal hasil dividen 6-7 persen dan penurunan harga saham sebesar 28 persen, kepemilikan saham investor di BBRI telah berkinerja buruk sebesar 20 persen di 2024.
3. Perangkap Harga
Ketiga, banyak investor ritel keliru menganggap, valuasi yang lebih rendah (PER/PBV) adalah ‘menarik’ terutama jika dibandingkan dengan kinerja historis dengan menggunakan deviasi standar.
Kesalahpahaman ini umumnya disebut sebagai value trap (perangkap harga) di mana investor percaya bahwa harga saham pada akhirnya akan kembali lagi ke nilai ‘intrinsik’ sebelumnya pada masa mendatang.
Harga Bajai Sesuai Kualitasnya
Investor ritel megacu pepatah ‘beli mercy dengan harga bajai’ sehingga positif melihat saham BBRI karena harga sahamnya diasumsikan akan bergerak masih tinggi.
Baca juga: Pemegang Saham Semringah, BRI Guyur Dividen Interim Rp20,46 Triliun
Namun, mereka gagal menyadari, valuasi yang lebih rendah sering kali merupakan cerminan dari nilai saham secara intrinsik yang lebih rendah juga menyusul fundamental perusahaan yang telah memburuk.
Karena itu, pepatah yang lebih akurat mungkin adalah ‘harga bajai, karena kualitas bajai’.
“Tentu saja ada risiko lain yang memengaruhi pergerakan harga suatu saham, tetapi sederhananya, jika perusahaan tersebut berkinerja baik, investor (dalam hal ini investor asing) tidak akan terus-menerus menjual sahamnya,” timpal Tim Riset Algo.
Asal tahu saja, kinerja saham BBRI di 2024 menjadi tahun terburuk kedua bagi investor, tak terkecuali investor ritel. Itu terhitung sejak perseroan melakukan penawaran umum saham perdana atau Initial Public Offering (IPO) lebih dari dua puluh tahun lalu.
Tahu lalu, harga sahamnya anjlok 28 persen (tidak termasuk dividen), kerugian terbesar kedua setelah krisis keuangan 2008 yang saat itu longsor 38 persen.
Baca juga: Digandrungi Manajer Investasi, Pelemahan Overdosis Saham BBRI Jadi Peluang Cuan
- Penulis :
- Ahmad Munjin
- Editor :
- Ahmad Munjin