
Pantau - Anxiety atau gangguan kecemasan kini menjadi perhatian utama di berbagai kalangan usia, dengan generasi Milenial dan Gen Z menghadapinya dengan cara yang sangat berbeda. Perbedaan ini dipengaruhi oleh pergeseran nilai sosial, kemajuan teknologi, dan peristiwa sejarah besar yang membentuk kehidupan mereka.
Memahami bagaimana kedua generasi ini menangani kecemasan memberikan wawasan penting mengenai tren kesehatan mental dan strategi penanganannya di masa depan.
Mengapa Milenial dan Gen Z Menghadapi Anxiety Secara Berbeda?
Gangguan kecemasan kini diakui sebagai kondisi kesehatan mental yang paling umum di dunia. Meskipun penyebabnya beragam, pengalaman generasional memiliki peran besar dalam bagaimana kecemasan itu muncul dan bagaimana individu meresponsnya.
Milenial: Generasi yang Mengalami Transisi
Milenial (lahir 1981–1996) tumbuh di antara dunia analog dan digital. Mereka merasakan perubahan besar dalam teknologi, namun belum mengalami dominasi teknologi seperti yang dirasakan generasi sekarang. Milenial sering terombang-ambing antara dua paradigma: stabilitas tradisional dan tuntutan untuk lebih adaptif di era digital.
Baca juga: Cerita Vidi Aldiano dan Pentingnya Kesadaran Akan Anxiety Disorder
Beberapa tantangan besar yang dihadapi generasi ini meliputi:
- Resesi Besar (2008): Banyak Milenial memasuki dunia kerja di masa krisis ekonomi, menyebabkan ketidakstabilan finansial dan keterlambatan dalam pencapaian kedewasaan.
- Utang Pinjaman Mahasiswa: Tingginya tingkat utang membuat kecemasan finansial menjadi hal yang umum.
- Tumbuh Bersama Media Sosial: Media sosial yang berkembang pada masa mereka menambah tekanan melalui perbandingan sosial dan rasa takut ketinggalan (FOMO).
Gen Z: Generasi Digital-Native
Gen-Z (lahir 1997–2012) tumbuh dengan internet, smartphone, dan media sosial. Walaupun teknologi memberikan banyak manfaat, hal ini juga memperkenalkan tantangan baru:
- Perundungan Online: Anonimitas internet meningkatkan ancaman perundungan yang memengaruhi kesehatan mental.
- Paparan Berlebihan terhadap Krisis Global: Gen-Z sering kali merasa cemas terkait perubahan iklim dan ketidakstabilan politik, yang menyebabkan meningkatnya kecemasan ekologi dan eksistensial.
- Perfeksionisme di Media Sosial: Platform seperti Instagram dan TikTok mengedepankan standar hidup yang ideal, meningkatkan rasa tidak cukup dan keraguan diri.
Baca juga: Berhenti Budgeting dapat Atasi Financial Anxiety?
Cara Milenial Menghadapi Kecemasan
- Terapi dan Obat-obatan Tradisional Milenial banyak mengandalkan terapi seperti CBT (Cognitive Behavioral Therapy) dan pengobatan untuk mengelola kecemasan. Mereka terbuka untuk menggunakan obat anti-ansietas dan antidepresan saat disarankan oleh profesional kesehatan mental.
- Fokus pada Stabilisasi Karier Milenial sering mencari konseling karier untuk membantu mereka mengatasi transisi pekerjaan dan merencanakan masa depan yang lebih stabil. Program kesejahteraan di tempat kerja juga menawarkan dukungan untuk mengatasi kecemasan yang berhubungan dengan pekerjaan.
- Sumber Daya Mandiri Aplikasi mindfulness seperti Calm dan Headspace menjadi favorit untuk mengurangi stres. Banyak Milenial juga memanfaatkan olahraga dan yoga untuk menjaga keseimbangan mental.
- Detoks Media Sosial Sadar akan dampak negatif media sosial, Milenial sering mengambil waktu untuk melakukan detoks digital guna mengurangi tekanan sosial dan perbandingan yang tidak realistis.
Cara Gen Z Menghadapi Kecemasan
- Media Sosial sebagai Pedang Bermata Dua Bagi Gen Z, media sosial dapat memperburuk kecemasan, namun juga menjadi tempat untuk dukungan mental. Mereka memanfaatkan platform ini untuk berdiskusi tentang kesehatan mental dan mencari dukungan dari sesama.
- Keterbukaan dan Dukungan Teman Sebaya Gen Z lebih terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental. Mereka sering membentuk komunitas online di Reddit, Discord, dan Instagram untuk berbagi pengalaman dan strategi koping.
- Terapi Alternatif Praktik seperti meditasi, pernapasan terkendali, dan pengobatan holistik semakin populer di kalangan Gen Z, yang lebih memilih pendekatan alami untuk mengatasi kecemasan.
- Advokasi Kesehatan Mental Gen Z aktif memperjuangkan perubahan kebijakan terkait akses terapi dan layanan konseling yang lebih terjangkau. Mereka juga terlibat dalam kampanye kesadaran kesehatan mental dan aktivisme.
Baca juga: 3 Alasan Tak Masuk Akal Dapat Memicu Anxiety, Bahkan saat Keadaan Baik-baik Saja
Perbandingan Cara Milenial dan Gen Z Menghadapi Kecemasan
Stigma Kesehatan Mental
- Milenial: Tumbuh di era di mana isu kesehatan mental masih dianggap tabu, sehingga mereka cenderung lebih tertutup dalam membicarakan kecemasan.
- Gen Z: Lebih vokal dan mendukung penerimaan masyarakat terhadap kesehatan mental.
Peran Teknologi
- Milenial: Melihat teknologi sebagai alat bantu untuk terapi dan penghubung dengan profesional.
- Gen Z: Memanfaatkan teknologi untuk dukungan teman sebaya, namun lebih waspada terhadap dampak negatifnya.
Strategi Koping
- Milenial: Cenderung memilih solusi yang lebih terstruktur, seperti terapi dan program kesejahteraan di tempat kerja.
- Gen Z: Lebih memilih pendekatan yang fleksibel dan berbasis komunitas, seperti grup dukungan online dan terapi alternatif.
Tantangan yang Memperburuk Anxiety
Meskipun berbeda, kedua generasi ini menghadapi tantangan yang memperburuk kecemasan, seperti:
- Stres Ekonomi: Milenial terbebani dengan utang pinjaman mahasiswa, sementara Gen Z menghadapi ketidakpastian pasar kerja.
- Kecemasan Lingkungan: Baik Milenial maupun Gen Z khawatir tentang perubahan iklim, namun Gen Z merasa ancaman tersebut lebih mendesak.
- Overload Informasi: Paparan berita dan media sosial yang terus-menerus menciptakan rasa kewalahan bagi kedua generasi ini.
Baca juga: 7 Manfaat Pelukan yang Wajib Diketahui, Salah Satunya Redakan Anxiety
Baik Milenial maupun Gen Z menghadapinya kecemasan dengan cara yang unik namun saling melengkapi. Milenial cenderung mengandalkan terapi tradisional dan sumber daya mandiri, sementara Gen Z lebih fokus pada dukungan teman sebaya dan terapi alternatif. Kedua generasi ini membantu meruntuhkan stigma kesehatan mental dan membentuk budaya yang lebih inklusif. Dengan memahami perbedaan ini, kita dapat lebih baik mendukung mereka yang berjuang melawan kecemasan dan menciptakan mekanisme koping yang lebih sehat di masa depan.
- Penulis :
- Latisha Asharani