
Pantau - Presiden Prabowo Subianto diminta mengevaluasi kinerja Jampidsus Febrie Adriansyah, lantaran ditengarai melakukan serangkaian dugaan penyalahgunaan wewenang.
Desakan itu datang dari Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso, selaku Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi.
Niat mulia Presiden Prabowo yang ingin menyejahterakan rakyat dengan mendorong kuat pemberantasan korupsi, dan penguatan integritas aparatur pemerintah sulit tercapai, apabila penyalahgunaan kewenangan dalam pelaksanaan kegiatan penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dibiarkan terus berlanjut.
Sugeng Teguh Santoso mengungkapkan itu usai acara talkshow bertajuk ”Megakorupsi Pertamina: Jangan Hanya Ganti Pemain” di Menara Kompas, Palmerah, Jakarta, Kamis (20/3/2025).
Baca juga: Pelaporan Pejabat Kejagung ke KPK, Pengamat: Kenapa Selalu Muncul Saat Kasus Besar Diungkap?
Menurut Sugeng, Jampidsus Febrie Adriansyah dapat dikualifikasi telah mengelabui Kepala Negara dan publik, dengan seolah-olah menegakkan hukum, memberantas korupsi. Mengumumkan tersangka dengan kerugian negara bernilai fantastis, tanpa metodologi ilmiah.
Hingga mencapai ratusan triliun rupiah, kata dia, dengan tujuan hanya untuk kepentingan membangun sensasi dan popularitas.
”Faktanya, terus terjadi praktik ’memberantas korupsi sembari korupsi’. Setidaknya dalam penanganan kasus korupsi Jiwasraya, suap Ronald Tannur dengan terdakwa Zarof Ricar, korupsi Pertamina Rp193,7 triliun, penyalahgunaan kewenangan tata niaga batubara di Kalimantan Timur senilai Rp10 triliun, dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sebagaimana yang telah dilaporkan oleh Koalisi Sipil Masyarakat Anti Korupsi ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” ungkap Sugeng.
Persangkaan Palsu dalam Korupsi Pertamina
Berdasarkan Siaran Pers Kapuspenkum Kejaksaan Agung RI, Nomor: PR-169/101/K.3/Kph.3/02/2025, tertanggal 25 Februari 2025, Muhammad Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati dan Gading Ramadhan Joedo ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Gara-Gara Dugaan Ini, Jampidsus Febrie Adriansyah Dilaporkan ke KPK
Mereka dituduh memberikan pembantuan kejahatan ‘pengoplosan’ Ron 90 atau lebih rendah, kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.
Selain itu, mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen hingga 15 persen secara melawan hukum.
Karena itu, tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.
”Persangkaan itu tidak benar, sekaligus menyesatkan. Perintah Pertamina kepada PT Orbit Terminal Merak untuk melakukan blending di storage/depo diperbolehkan, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi,” timpal Sugeng.
Baca juga: Komisi III DPR Gelar Rapat Tertutup Bersama Jampidsus Perihal Kasus Korupsi
Syaratnya, harus sesuai standar dan mutu yang ditetapkan oleh menteri, yang pembinaan dan pengawasannya dilakukan melalui Dirjen Minyak dan Gas Bumi. Itu sebagaimana Peraturan ESDM No. 48 Tahun 2005 tentang Standar Mutu (spesifikasi) serta Pengawasan Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, Bahan Bakar Lain, LPG, LNG dan Hasil Olahan yang Dipasarkan di Dalam Negeri.
Sugeng menegaskan, pada 4 Maret 2025, Kejaksaan Agung meralat dengan menegaskan, kasus yang sedang diselidiki adalah praktik blending, bukan pengoplosan. Namun penggunaan istilah 'oplosan' yang tidak tepat telah telanjur menyesatkan masyarakat dan merugikan Pertamina.
“Informasi yang tidak akurat ini menyebabkan konsumen kehilangan kepercayaan dan beralih ke SPBU asing. Pendapatan Pertamina melorot hingga mencapai 20 persen. Ini adalah contoh nyata, bagaimana hoaks dan unprofessional oleh Kejaksaan Agung dapat merugikan perusahaan nasional dan perekonomian negara. Persangkaan blending sebagai korupsi merupakan maladministrasi,” tegas Sugeng.
Jaksa penyidik, menurut Sugeng, telah membangun konstruksi hanya dengan menduga-duga telah terjadi kemahalan harga sebesar 13 hingga 15 persen, dan telah memperkaya diri tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa.
Baca juga: Gembong Mafia Minyak di Balik Kasus Korupsi Pertamina Rp193,7 T
Semua itu, sambung dia, ternyata pembuktiannya semata-mata hanya berlandaskan adanya komunikasi WhatsApp tersangka Dimas Werhaspati dengan tersangka Agus Purwomo, selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.
Jaksa penyidik pada Jampidsus Kejagung dinilai Sugeng, telah keliru memaknai konteks komunikasi tersebut. Kemahalan harga sebesar 13 hingga 15 persen yang dimaksud merupakan margin keuntungan PT Pertamina International Shipping kepada PT Kilang Pertamina International, dan tidak memperkaya Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Fakta hukum yang sebenarnya, tersangka Dimas Werhaspati selaku pribadi, bermaksud ingin menjadi broker sewa kapal milik pihak lain, yang tidak ada kaitannya dengan diri Muhammad Kerry Andrianto Riza dan PT Navigator Katulistiwa. “Keinginan itu bukan merupakan perbuatan pidana,” ucap Sugeng.
Dimas Werhaspati, menurutnya, bermaksud membantu melakukan dealing angka margin PT Pertamina International Shipping kepada PT Kilang Pertamina International. Itu telah disepakati antara Sani Dinar Saifudin selaku VP Feedstock & Inventory Management PT Kilang Pertamina International dengan Muhamad Reza selaku VP Komersial PT Pertamina International Shipping.
Baca juga: IPW Duga Penyidik Pidsus Kejagung Ubah Arah Perkara dalam Korupsi Pertamina
Besarannya, menurut Sugeng, Harga Market + 12 persen. Harga Market saat itu 5,9 juta dolar AS + 12 persen = 6,6 juta dolar AS. Ini kemudian diberitahukan kepada Agus Purwono selaku Senior Manager Crude Oil Supply di PT Kilang Pertamina International.
Margin PT Pertamina International Shipping ke PT Kilang Pertamina International sejumlah Harga Market + 12 persen, menggunakan metode Pengiriman FOB (Freigt On Board).
Dalam dealing tersebut, Dimas Werhaspati selaku broker meminta fee sebesar 2-3 persen dari harga market publikasi serta tergantung hasil negosiasi dengan pemilik kapal yang, kalaulah kelak diperolehnya, bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Namun, ditegaskan Sugeng, ternyata peristiwa yang oleh jaksa disebut ‘kontrak shipping (pengiriman)’ yang dilakukan tersangka Yoki Firnandi selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping tidak pernah ditandatangani.
Baca juga: Golkar Bantah Keterlibatan Bahlil Lahadalia dalam Kasus Korupsi Pertamina
Tanpa didukung alat bukti, papar Sugeng, jaksa kemudian dengan gegabah menetapkan Dimas Werhaspati dan Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku beneficial owner PT Navigator Katulistiwa, sebagai tersangka.
”Persangkaan jaksa bahwa negara mengeluarkan fee sebesar 13 persen hingga 15 persen secara melawan hukum, Muhammad Kerry Andrianto Riza, selaku beneficial owner PT Navigator Katulistiwa mendapatkan keuntungan adalah persangkaan palsu, sebagaimana yang dimaksud pasal 318 KUHP,” tambah Sugeng.
Berdasarkan fakta-fakta dan uraian itu, menurut Sugeng, Muhammad Kerry Andrianto Riza, Dimas Werhaspati, dan Gading Ramadhan Joedo telah menjadi korban rekayasa, kriminalisasi, dan praktik ‘Misccariage of Justice and Law Enforcement’ (the conviction of a person for a crime they did not commit, or wrongful conviction, referring a conviction reached in an unfair process), yang dilakukan oleh penyidik Pidsus Kejagung RI.
”Jika hal itu dibiarkan, dapat melahirkan Peradilan Sesat (Rechterlijke Dwaling) dan cenderung dapat menciptakan keputusan hakim yang tidak adil dan melanggar hak asasi manusia atau HAM sipil dan politik. Secara universal, dapat dikualifisir sebagai rangkaian penegakan hukum yang dapat digunakan untuk menuntut seseorang atas perbuatan yang tidak dilakukannya (conviction and punishment of a person for a crime he did non commit).
Baca juga: Korupsi Pertamina Rp1 Kuadriliun, Golkar Bela Bahlil
Kerugian Negara Rp193,7 T Dinilai Tak Ada Kaitan dengan Tersangka
Dalam Siaran Pers Kejagung disebutkan, akibat beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah menyebabkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun.
Ini terbagi dalam 5 (lima) cluster, yang bersumber dari komponen (1) Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun, (2) Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun, (3) Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun, (4) Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun, (5) Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Namun, masih menurut Sugeng, komponen kerugian negara pada lima cluster itu ternyata tidak ada kaitan dengan pengoplosan/blending dan mark up kontrak shipping (pengiriman minyak) yang dituduhkan kepada para tersangka, yang dikualifisir obscuur libel.
Sugeng menegaskan, itu tidak nyambung antara petitum dengan posita. Tidak ada relevansinya antara peristiwa hukum yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun, dengan dugaan pengoplosan/blending dan mark up kontrak shipping (pengiriman minyak).
Baca juga: Sahroni Dukung Kejagung Usut Korupsi Pertamina
”Fakta ini yang membuat penyidikan kasus korupsi Pertamina ini dicurigai sebagai bukan murni untuk penegakan hukum. Melainkan, memiliki tujuan-tujuan tertentu di luar hukum,” imbuh Sugeng.
- Penulis :
- Ahmad Munjin