
Pantau - Perang di Gaza antara Palestina dan Israel bukan sekadar konflik militer, tetapi juga mencerminkan pertarungan wacana, identitas, dan peradaban yang telah berlangsung lebih dari tujuh dekade.
Sejak peristiwa Nakba pada 1948, ketika lebih dari 700.000 warga Palestina diusir akibat pembentukan negara Israel, wilayah Palestina terus mengalami marginalisasi politik dan kekerasan struktural yang berakar pada warisan kolonialisme.
Eskalasi terbaru pada 7 Oktober 2023 kembali menegaskan pola yang telah berlangsung lama, di mana Israel mendapat dukungan negara-negara Barat dengan dalih keamanan dan hak membela diri, sementara Palestina kerap dikategorikan sebagai ancaman atau bagian dari instabilitas Timur Tengah.
Baca juga: Islamofobia Meningkat Tajam di Inggris Sejak Perang Gaza
Pendekatan teori post-kolonial dapat membantu memahami konflik ini, terutama melalui perspektif Edward Said dalam Orientalism, Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations, serta kajian multikulturalisme oleh Will Kymlicka dan Susan Okin.
Dalam Orientalism (1978), Edward Said menjelaskan bagaimana Barat menciptakan citra dunia Timur sebagai wilayah terbelakang yang memerlukan intervensi untuk menjadi modern.
Hal ini tercermin dalam wacana yang menggambarkan Palestina sebagai teroris dan Israel sebagai negara demokratis yang harus mempertahankan diri.
Media Barat cenderung membingkai perlawanan Palestina sebagai bentuk ekstremisme, sementara tindakan Israel sering kali dibenarkan dengan alasan keamanan.
Baca juga: 500 Hari Perang Gaza Tewaskan 48 Ribu Warga Sipil
Selain itu, Israel juga diposisikan sebagai benteng peradaban Barat di Timur Tengah. Kolonialisme tidak hanya mengandalkan dominasi fisik tetapi juga membentuk cara berpikir global tentang suatu wilayah.
Dalam diplomasi internasional, serangan Israel ke Gaza kerap dibenarkan dengan narasi hak membela diri, sedangkan perlawanan Palestina, baik dalam bentuk protes sipil maupun perlawanan bersenjata, sering dicap sebagai terorisme.
Samuel Huntington dalam The Clash of Civilizations (1996) berpendapat bahwa konflik dunia pasca-Perang Dingin bukan lagi didorong oleh ideologi atau ekonomi, melainkan oleh perbedaan peradaban.
Dalam perspektif ini, Gaza menjadi simbol benturan antara peradaban Islam dan Barat. Israel sering dipandang sebagai representasi Barat yang menghadapi Palestina sebagai bagian dari dunia Islam yang dianggap bermusuhan.
Baca juga: Human Rights Watch: Perang Gaza Ancam Nyawa Ibu Hamil dan Bayi
Pandangan ini memperkuat Islamofobia di Barat dan membentuk kebijakan luar negeri yang lebih berpihak kepada Israel serta cenderung menekan kelompok atau negara Islam yang dianggap mengancam kepentingan Barat.
Dari perspektif multikulturalisme, Will Kymlicka menekankan pentingnya perlindungan hak-hak minoritas dalam sebuah negara.
Namun, di Israel, warga Palestina masih mengalami diskriminasi sistematis, baik dalam sektor perumahan, pendidikan, maupun pekerjaan.
Baca juga: Netanyahu Tegaskan Perang Gaza Belum Berakhir
Di wilayah pendudukan, kebijakan apartheid menciptakan pemisahan yang mencolok antara pemukim Yahudi dan warga Palestina.
Sementara itu, Susan Okin dalam Is Multiculturalism Bad for Women? menyoroti bagaimana kebijakan multikultural sering kali mengabaikan hak-hak perempuan.
Di Palestina, perempuan menghadapi tantangan ganda, baik sebagai korban konflik maupun dalam masyarakat yang masih patriarkal.
Namun, perjuangan feminisme Palestina tidak dapat dilepaskan dari gerakan anti-kolonial, di mana mereka tidak hanya memperjuangkan hak gender, tetapi juga kebebasan politik dari pendudukan.
Baca juga: Dewan Kota Amsterdam Desak Pemerintah Belanda Tanggapi Perang Gaza
- Penulis :
- Wulandari Pramesti
- Editor :
- Wulandari Pramesti