Pantau Flash
HOME  ⁄  Lifestyle

Memukul Saat Marah, Bagaimana Psikologi Melihat Hal Ini?

Oleh Latisha Asharani
SHARE   :

Memukul Saat Marah, Bagaimana Psikologi Melihat Hal Ini?
Foto: Ilustrasi (Freepik)

Pantau - Amarah adalah salah satu bentuk emosi setiap orang. Amarah bisa datang tiba-tiba, dan sering kali membuat seseorang tidak bisa mengendalikan diri. Dilihat dari ciri-cirinya setiap orang pasti pernah merasakannya, detak jantung yang meningkat, wajah yang memerah, dan keinginan untuk meluapkan perasaan tersebut, baik melalui kata-kata maupun tindakan. 

Namun, seringkali seseorang meluapkan amarah tanpa memikirkan dampak yang terjadi pada diri sendiri ataupun orang lain. Kemarahan merupakan hal yang normal, tetapi akan berdampak buruk apabila tidak dikendalikan dengan bijak.

Bersikap bijak ketika marah inilah yang tidak semua orang bisa menerapkannya, seperti yang terjadi baru-baru ini. Publik dihebohkan dengan insiden pemukulan wasit di laga perempat final sepak bola putra Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI Aceh-Sumut 2024. Insiden terjadi pada laga Aceh sebagai tuan rumah kontra Sulawesi Tengah (Sulteng) yang diselenggarakan di Stadion Dimurthala, Banda Aceh, Sabtu (14/9/2024) malam. 

Baca juga: Etika Bercanda Agar Tidak Berujung Bencana

Berawal dari keputusan wasit Eko Agus Sugih Harto yang kontroversial dengan memberikan hadiah pinalti kepada Aceh meskipun takel yang dilakukan terlihat bersih. Keputusan ini pun mengakibatkan kemarahan dari para pemain Sulteng, salah satunya Muhammad Rizki yang langsung memukul wasit di bagian kepala hingga tersungkur. Setelah pemukulan itu wasit langsung ditandu ke luar lapangan menggunakan ambulans untuk diberikan pertolongan. 

Melampiaskan amarah bukanlah hal yang dilarang, tetapi melampiaskan amarah dengan cara yang tidak bijak atau cenderung agresif akan berdampak buruk bagi banyak pihak. Jika dilihat dari kacamata psikologi, apa yang membuat seseorang memukul saat marah?

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Psikolog asal Amerika Richard J. Davidson dan McEwen dalam “Social influences on neuroplasticity: Stress and interventions to promote well-being. Nature Neuroscience” menunjukkan bahwa sikap agresif, seperti memukul saat marah, sering disebabkan oleh aktivitas berlebih di sistem limbik, khususnya amigdala bagian otak yang terkait dengan respons emosional, termasuk rasa takut dan marah

Baca juga: Pilih Ngetik Daripada Nulis?! Apa Manfaat Menulis Berdasarkan Sudut Pandang Psikologi?

Ketika seseorang marah, amigdala akan mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh tubuh, sehingga memicu respons "fight-or-flight" dalam bahasa Indonesianya berarti "lawan-atau-lari". Pada seseorang yang mengalami kesulitan mengelola emosi, amigdala mungkin bereaksi secara berlebihan, menyebabkan perilaku impulsif seperti memukul. 

Penelitian yang dilakukam Harvard Medical School ini menyoroti proses ketika kita marah, korteks prefrontal, yang mengontrol pengendalian diri dan pemikiran rasional, sering kali “mati” dan sistem limbik (amigdala) mengambil alih. 

Hal ini menyulitkan orang yang terkena dampak untuk berpikir  jernih dan lebih cenderung mengarah pada perilaku fisik agresif. Oleh karena itu, tak jarang orang yang emosinya tidak terkendali bisa meluapkan emosinya lewat tindakan yang keras seperti membentak bahkan memukul. 

Lalu bagaimana mengendalikan emosi agar tetap dalam kondisi yang stabil dan tidak agersif?

Baca juga: Suami Tendang Istri Saat Gendong Anak, Bagaimana Pandangan Psikologi Melihat Hal ini?!

Psikolog UGM, Sutarimah Ampuni, S.Psi., M.Si., MPsych., Psikolog., menjelaskan beberapa strategi meluapkan emosi agar tetap dalam keadaan yang stabil, antara lain:

1. Lihat Situasi

Melihat situsasi dalam hal ini adalah dengan memilih apakah kita perlu emosi dalam keadaan tertentu. Misalnya ketika melihat pemberitaan di TV tentang perselingkuhan Artis, kita tidak perlu marah akan hal itu, karena hanya akan menghabiskan energi kita dan marah tidak akan merubah situasi perselingkuhan artis yang bahkan tidak mengenal kita.

2. Memodifikasi Lingkungan

Memodifikasi lingkungan seperti menata dan membersihkan kamar bisa memicu semangat kita.

3. Ubah Mindset

Misalnya ketika mendapatkan masalah dalam hidup, seperti ditinggal kekasih. Kita bisa mengubah cara berpikir kita dengan menganggap bahwa itu terjadi karena memang sudah jalannya, bukan jodoh, dan sebagainya. Untuk memanipulasi otak agar tidak larut dalam kemarahan.

4. Alihkan Perhatian

Bisa dilakukan dengan menjalankan hobi, menonton film, jalan-jalan atau biasa disebut dengan healing.

Baca juga: Remaja Patah Hati Coba Bunuh Diri: Menggali Makna Cinta dari Sudut Pandang Psikologi

5. Ambil jarak emosi yang dirasakan 

Artinya adalah dengan tidak langsung meluapkan emosi ketika marah, bisa dilakukan dengan diam sejenak dan menghindari interaksi bersama orang lain.

Saat emosi yang terjadi sudah melewati kendali diri, sebaiknya segera tangani dengan bantuan profesional guna mencegah potensi gangguan mental.

Laporan: Mai Hendar Santoso

Penulis :
Latisha Asharani